“Aku
ini seperti anak pinjaman sehingga semua fasilitas yang kupakai adalah
pinjaman,”gadis kecilku berteriak dan menjerit-jerit di depan mamanya sembari
menangis tersedu. Aku terperangah.
Aku begitu kaget mendengarkan dia. Rasanya
sakit menghujam jantungku. Darahku mendidih ingin marah. Tapi hatiku berkata
lain. Baiklah aku simak apa ujung perdebatannya dengan si Ema. “Aku tidak mau
pakai HP ini lagi. Kembalikan saja. Biarlah aku tak sekolah. Untuk apa? Tidak
ada gunanya. Toh semuanya barang pinjaman. Apakah aku ini anak yang kalian
pilih di jalan?” rentetan kata-katanya tak terbendung bagaikan anak senjata
lepas dari kokangnya. “Dengarkan dulu, Nak!”si Ema coba menenangkan. Gadis
kecilku terus saja menangis, tak mau dibujuk.
Aku mau ikut campur dalam
drama yang terjadi. Namun, aku urungkan. Apakah aku salah dalam menerapkan
model didikanku kali ini. Anakku protes. Dia merasa sebagai anak pinjaman. Dia
merasa terkekang. Dia merasa terancam. “Ina… HP itu tidak boleh ditambah lagi
dengan macam-macam aplikas. RAM-nya kecil. Nanti aplikasi classroom dan webex-nya
tak berfungsi baik. Itu pesan Kaka Ton, si Empunya HP,”kataku kala ia merayuku
mendownload aplikasi Tik Tok yang lagi tren itu. Ia tak
henti-hentinya bercerita tentang teman-temannya yang mem-posting video tik tok
hasil kreasi mereka. Kadang ia mengikuti gaya dan gerakannya. Bibirnya
bercerita seru sekali. Tubuhnya ikut bergoyag dan tangannya kesana kemari tiada
henti. Bagiku itu bukan sesuatu yang perlu diperbincangkan. Aku datar saja
menanggapi ocehannya. Aku hanya menggeleng dan kemudian dia menjauhi aku. Aku
pikir akan baik-baik saja.
Pernah
suatu waktu, aku memintanya membuatkanku segelas teh panas. Ina masih saja
sibuk dengan HP-nya, mungkin sedang mengerjakan tugas sekolah atau meng-update status di FB. Saking lamanya ia
beranjak dari duduknya, aku berujar, “Hmm…saya mesti telpon KK Ton.” Ina
langsung bergeming dan segera memenuhi pintaku. Dia menyuguhkan minuman
kesayanganku itu tanpa ekspresi. Aku biasa saja. “Terima kasih, Na!” Mungkin
dia sebel. Atau dia marah. Tapi mana kupeduli.
HP
itu sesungguhnya kami belikan untuk kelancaran belajarnya di masa covid-19. Kami bersepakat membelikannya
HP, tetapi kami mengarang cerita bahwa HP itu dipinjamkan oleh saudara
sepupunya yang bekerja di sebuah perusahaan BUMN di kota kecil kami. Bahkan
kami mengatur skenario seolah-olah HP itu dibelikan langsung oleh saudaranya
dan diantar sendiri disertai deretan aturan dalam menggunakan HP “pinjaman”
itu. Awalnya dia tampak bahagia. Senyum sumringah mengembang di bibir
mungilnya. Aku pun ikut senang. Mamanya juga.
Apalagi saudaranya itu telah mengisi banyak pulsa data untuknya yang
dapat dipakai selama sebulan.
Seiring
perjalanan waktu, tatkala pemerintah menetapkan bahwa sekolah dibuka dengan
sistem BDR, HP sudah menjadi kebutuhan pokok di setiap rumah tangga.
Teman-teman sebayanya satu per satu dibelikan HP. Mereka tampak bangga dengan
“benda bodoh” itu di tangannya masing-masing. Ada yang sudah meng-instal tik-tok, lalu mengajaknya ber-toktak ria. Ada pula yang sudah punya
aplikasi Video yang katanya dapat
digunakan menonton sinetron dan mendengar lagu kesayangan tanpa henti. Oya,
juga nonton film Korea tanpa terganggu iklan.
Aku
masih diam. Aku masih di depan pesawat televisi yang menayangkan serial film
India, tak kutahu judulnya. Sebelum keterkejutanku pada kata-kata Ina yang
menghujam nuraniku itu, pelaku pria dalam film seri yang kutoton pun sedang
berkelahi dengan mamanya. “Ibu, kau tidak layak dipanggil ibu. Hakmu untuk
diriku sudah tidak berlaku. Ibu telah meracuni diriku dengan kebohongan demi
kebohongan. Di dalam tubuhku mengalir darah penipu. Aku tidak akan percaya lagi
pada ibu dan selamanya tidak akan percaya.”
Hah?
Apakah aku sudah salah terhadap anakku? Apakah aku sudah keliru mendidiknya?
Aku sudah menipu anakku. Aku sudah membohonginya. Segera kupalingkan wajah ke
arah mereka. Kulihat mata mamanya berair. Dia pun ikut menangis. Mungkin karena
ekspresi marah? Atau karena ekspresi sedih? Aku bingung. Aku lalu menutup
pesawat televisi itu. Aku keluar meninggalkan mereka. Aku harus meminta maaf
padanya. Harus. Tak mau lara ini lebih lama melukai hati anakku. Dia gadis yang
baik. Kumau dia jadi anak yang JUJUR. Itu saja. Selengkapnya Klik di sini !
Kapan covid slesai
BalasHapusEntahlahhhhhh
BalasHapusMantap jiwa. Terharu aku.😁
BalasHapusLuar biasa pa guru
BalasHapus