Sabtu, 01 Agustus 2020

LARA DI TENGAH COVID-19 (Cerpen)

“Aku ini seperti anak pinjaman sehingga semua fasilitas yang kupakai adalah pinjaman,”gadis kecilku berteriak dan menjerit-jerit di depan mamanya sembari menangis tersedu. Aku terperangah.
Aku begitu kaget mendengarkan dia. Rasanya sakit menghujam jantungku. Darahku mendidih ingin marah. Tapi hatiku berkata lain. Baiklah aku simak apa ujung perdebatannya dengan si Ema. “Aku tidak mau pakai HP ini lagi. Kembalikan saja. Biarlah aku tak sekolah. Untuk apa? Tidak ada gunanya. Toh semuanya barang pinjaman. Apakah aku ini anak yang kalian pilih di jalan?” rentetan kata-katanya tak terbendung bagaikan anak senjata lepas dari kokangnya. “Dengarkan dulu, Nak!”si Ema coba menenangkan. Gadis kecilku terus saja menangis, tak mau dibujuk.


Aku mau ikut campur dalam drama yang terjadi. Namun, aku urungkan. Apakah aku salah dalam menerapkan model didikanku kali ini. Anakku protes. Dia merasa sebagai anak pinjaman. Dia merasa terkekang. Dia merasa terancam. “Ina… HP itu tidak boleh ditambah lagi dengan macam-macam aplikas. RAM-nya kecil. Nanti aplikasi classroom dan webex-nya tak berfungsi baik. Itu pesan Kaka Ton, si Empunya HP,”kataku kala ia merayuku mendownload aplikasi Tik Tok yang lagi tren itu. Ia tak henti-hentinya bercerita tentang teman-temannya yang mem-posting video tik tok hasil kreasi mereka. Kadang ia mengikuti gaya dan gerakannya. Bibirnya bercerita seru sekali. Tubuhnya ikut bergoyag dan tangannya kesana kemari tiada henti. Bagiku itu bukan sesuatu yang perlu diperbincangkan. Aku datar saja menanggapi ocehannya. Aku hanya menggeleng dan kemudian dia menjauhi aku. Aku pikir akan baik-baik saja. 

Pernah suatu waktu, aku memintanya membuatkanku segelas teh panas. Ina masih saja sibuk dengan HP-nya, mungkin sedang mengerjakan tugas sekolah atau meng-update status di FB. Saking lamanya ia beranjak dari duduknya, aku berujar, “Hmm…saya mesti telpon KK Ton.” Ina langsung bergeming dan segera memenuhi pintaku. Dia menyuguhkan minuman kesayanganku itu tanpa ekspresi. Aku biasa saja. “Terima kasih, Na!” Mungkin dia sebel. Atau dia marah. Tapi mana kupeduli.

HP itu sesungguhnya kami belikan untuk kelancaran belajarnya di masa covid-19. Kami bersepakat membelikannya HP, tetapi kami mengarang cerita bahwa HP itu dipinjamkan oleh saudara sepupunya yang bekerja di sebuah perusahaan BUMN di kota kecil kami. Bahkan kami mengatur skenario seolah-olah HP itu dibelikan langsung oleh saudaranya dan diantar sendiri disertai deretan aturan dalam menggunakan HP “pinjaman” itu. Awalnya dia tampak bahagia. Senyum sumringah mengembang di bibir mungilnya. Aku pun ikut senang. Mamanya juga.  Apalagi saudaranya itu telah mengisi banyak pulsa data untuknya yang dapat dipakai selama sebulan.

Seiring perjalanan waktu, tatkala pemerintah menetapkan bahwa sekolah dibuka dengan sistem BDR, HP sudah menjadi kebutuhan pokok di setiap rumah tangga. Teman-teman sebayanya satu per satu dibelikan HP. Mereka tampak bangga dengan “benda bodoh” itu di tangannya masing-masing. Ada yang sudah meng-instal tik-tok, lalu mengajaknya ber-toktak ria. Ada pula yang sudah punya aplikasi Video yang katanya dapat digunakan menonton sinetron dan mendengar lagu kesayangan tanpa henti. Oya, juga nonton film Korea tanpa terganggu iklan.

Aku masih diam. Aku masih di depan pesawat televisi yang menayangkan serial film India, tak kutahu judulnya. Sebelum keterkejutanku pada kata-kata Ina yang menghujam nuraniku itu, pelaku pria dalam film seri yang kutoton pun sedang berkelahi dengan mamanya. “Ibu, kau tidak layak dipanggil ibu. Hakmu untuk diriku sudah tidak berlaku. Ibu telah meracuni diriku dengan kebohongan demi kebohongan. Di dalam tubuhku mengalir darah penipu. Aku tidak akan percaya lagi pada ibu dan selamanya tidak akan percaya.”

Hah? Apakah aku sudah salah terhadap anakku? Apakah aku sudah keliru mendidiknya? Aku sudah menipu anakku. Aku sudah membohonginya. Segera kupalingkan wajah ke arah mereka. Kulihat mata mamanya berair. Dia pun ikut menangis. Mungkin karena ekspresi marah? Atau karena ekspresi sedih? Aku bingung. Aku lalu menutup pesawat televisi itu. Aku keluar meninggalkan mereka. Aku harus meminta maaf padanya. Harus. Tak mau lara ini lebih lama melukai hati anakku. Dia gadis yang baik. Kumau dia jadi anak yang JUJUR. Itu saja. Selengkapnya Klik di sini !

4 komentar: