Minggu, 23 Agustus 2020

BLEBUK MERUK

 

Pukul 05.00 dentuman waning (gendang) dan gemerincing gong sudah berkumandang menyapa alam. Menyapa insan yang masih menikmati sisa-sisa mimpinya. Menyapa dunia yang kian kusut didera pandemic covid-19. Menyapa jagat raya yang berduka, yang hilang akal, yang hilang harapan berjuang melawan sang Mahkota ajaib.

Kesibukan di rumah Mo’at Bura tidak terelakkan lagi. Hiruk-pikuk di tengah kerumunan orang yang lagi berdandan merias pengantin perempuan juga menghias dirinya sendiri. Mo’at Bura akan menikahkan anak gadis semata wayangnya dengan pemuda kampung sebelah. Tidak ada lagi yang saling mendengarkan. Semua bersuara lantang tapi seolah suara itu bergaung di ruang privat. Tidak ada yang merespon. Tak ada tanggapan. Sibuk dan sangat sibuk menyiapkan segala sesuatu demi kesuksesan hajatan yang baru pertama diadakan di rumah itu.

Pukul 08.00 pengantin pria sudah tiba hendak menjemput belahan jiwa. Pengantin perempuan belum tampak batang hidungnya. Dia masih duduk manis di kursi, dalam kamar pengantinnya ditemani dua sosok manusia yang sedang meriasnya. Yang satu membenahi alis dan pipi. Yang lainnya merapikan rambut, lalu baju dan lain-lain tetek bengek yang tidak dimengerti. Sudah diberi biru, diganti pink, lalu ditukar merah cerah. Sudah disanggul, diganti konde, lalu ditukar jatuh lepas bebas tergerai. Hanya seputaran wajah yang menjadi fokus utama.

Pukul 09.00 pengantin pria tampak gelisah. Ia masih duduk mematung di kursi pendopo bersama segenap keluarga. Sesekali ia menengok jam dari smartphone miliknya. Gelisah. Tunduk. Tengadah. Lirik sepintas ke kiri kanan. Menoleh melihat ayahnya. Menatap ibunya. Ia galau karena jadual yang diberi pastor sudah terlampaui. Belum lagi prosesi perjalanan yang dibikin rumit. Lagi pula, ada tarian papak (tarian penjemputan) yang tengah menunggu di gerbang rumah Tuhan, yang pasti akan memakan waktu cukup lama.

Pukul 09.30 pengantin perempuan keluar dari kamar rias. Menuju pendopo. Menghadap mempelai pria. Menyuntingkan bunga dan menerima buket bunga. Bergandengan dan berjalan menuju mobil. Dayang-dayang kecil-kecil membantu memegang gaun yang hampir menyapu debu halaman rumah. Gadis kecil-kecil yang lainnya berjalan mundur di depan pengantin sembari menabur bunga rampai dan beras kuning. Konon katanya supaya kedua pengantin memberikan keturunan yang bisa mewarnai dunia. Keluarga makin mengerumuni pengantin. Masker digantung di dagu. Tempat cuci tangan tiada yang mampir, dibiarkan merana, sendirian.

Pukul 10.00 mobil pengantin bergerak meninggalkan halaman rumah pengantin wanita. Di depannya sebuah pick up lain lengkap dengan seperangkat gong waning (musik tradisonal Sikka) dan para penabuhnya juga berbusana adat Sikka komplit. Lipa prenggi (sarung khas Sikka), kemeja putih lengan panjang, ditambah aksesori sembar (selendang ala Sikka) tergantung diagonal dari baru menyampir ke pinggang, dan lensu (destar ala Sikka) di kepala. Mereka mengiringi pengantin dengan irama todu (cepat) membangkitkan semangat bagi semua rombongan teristimewa kedua pengantin. Iringan dibuat se-perlahan mungkin agar barisan parade tampak anggun.

Pukul 10.00 pastor paroki uring-uringan di depan pintu gereja. Rombongan penari papak terdiam membisu berjajar kiri kanan di pintu gerbang gereja. Mereka malu. Mereka marah. Mereka panik. Kata-kata sang Pastor terasa menyakitkan lebih sakit dari virus corona. “Kamu sibuk dengan hal-hal duniawi yang sebentar saja akan lenyap. Liturgi kamu tidak siapkan dengan baik. Koor tidak ada. Ajuda belum latihan. Lektor entah dimana. Bagaimana mungkin upacara ini bisa berlangsung hikmat dan sakral?” begitu kotbah yang disampaikan pastor di depan gereja.

Pukul 10.30 pengantin tiba di gereja. Musik gong waning makin membahana mengiringi kedua pengantin turun dari mobil. Akan tetapi, para penari masih berdiri terpaku di tempatnya. Tidak ada yang mulai menari. Pengantin dan keluarga sudah berbaris rapi di gerbang gereja dan seharusnya pada saat itu penari mulai beraksi. Lalu berangsur-angsur gong waning pun diam dengan sendirinya. Terdengar suara dari depan pintu gereja, “Pastikan semua yang mau mengikuti upacara ini pakai masker. Tanpa kecuali. Silakan cuci tangan pakai sabun di kran dekat pintu gerbang gereja. Usahakan jarak antara satu dengan yang lainnya, 1-2 meter. Setelah itu, ukur suhu tubuh pada petugas jaga. Terima kasih.”

Semua keluarga yang hadir tampak kaget. Raba hidung masing-masing. Raba mulut masing-masing. Raba telinga masing-masing. Ada yang membenahi maskernya. Ada yang lari cepat-cepat ke kios depan gereja. Ada yang tertunduk lesu. Tak terkecuali kedua pengantin. Rupanya mereka enggan memakai masker. Saling tatap. Lalu melirik ke tukang rias. Kemudian melihat ke arah pastor yang berdiri menatap tanpa berkedip dari depan. Matanya meminta dispensasi. Namun, pastor menggeleng. Mulutnya mohon dikecualikan. Tapi, pastor diam saja. Akhirnya masker pun terpaksa mampir di tempatnya. Lipstick tiada lagi. Pensil alis tak tampak lagi. Pemerah pipi hilang di balik masker. Senyum manis lenyap bersama iringan organis dari dalam gereja pertanda misa segera dimulai.

Pukul 12.00 misa usai. Tak ada salaman. Tak ada jabat tangan, apalagi foto-foto dan selfie. Semua keluarga meninggalkan gereja dengan wajah sendu. Pulang ke rumah tanpa iringan musik.

Pukul 12.30 pengantin tiba di rumah. Gong waning kembali berkumandang. Kerumunan tak terelakan lagi. Semua bersuka cita. Menari dan bertangis-tangisan bahagia. Semua berpesta pora (blebuk meruk) dengan melupakan protokoler kesehatan.

Pukul 08.00 minggu berikutnya. Tiga puluh tiga orang rapid tes reaktif. Dijemput tim satgas covid. Karantina selama 2 minggu.

 

2 komentar: