Kesibukan di rumah Mo’at Bura tidak
terelakkan lagi. Hiruk-pikuk di tengah kerumunan orang yang lagi berdandan
merias pengantin perempuan juga menghias dirinya sendiri. Mo’at Bura akan
menikahkan anak gadis semata wayangnya dengan pemuda kampung sebelah. Tidak ada
lagi yang saling mendengarkan. Semua bersuara lantang tapi seolah suara itu
bergaung di ruang privat. Tidak ada yang merespon. Tak ada tanggapan. Sibuk dan
sangat sibuk menyiapkan segala sesuatu demi kesuksesan hajatan yang baru
pertama diadakan di rumah itu.
Pukul 08.00 pengantin pria sudah tiba
hendak menjemput belahan jiwa. Pengantin perempuan belum tampak batang
hidungnya. Dia masih duduk manis di kursi, dalam kamar pengantinnya ditemani
dua sosok manusia yang sedang meriasnya. Yang satu membenahi alis dan pipi.
Yang lainnya merapikan rambut, lalu baju dan lain-lain tetek bengek yang tidak dimengerti.
Sudah diberi biru, diganti pink, lalu ditukar merah cerah. Sudah disanggul,
diganti konde, lalu ditukar jatuh lepas bebas tergerai. Hanya seputaran wajah
yang menjadi fokus utama.
Pukul 09.00 pengantin pria tampak
gelisah. Ia masih duduk mematung di kursi pendopo bersama segenap keluarga. Sesekali
ia menengok jam dari smartphone miliknya. Gelisah. Tunduk. Tengadah. Lirik
sepintas ke kiri kanan. Menoleh melihat ayahnya. Menatap ibunya. Ia galau
karena jadual yang diberi pastor sudah terlampaui. Belum lagi prosesi
perjalanan yang dibikin rumit. Lagi pula, ada tarian papak (tarian penjemputan) yang tengah menunggu di gerbang rumah
Tuhan, yang pasti akan memakan waktu cukup lama.
Pukul 09.30 pengantin perempuan keluar
dari kamar rias. Menuju pendopo. Menghadap mempelai pria. Menyuntingkan bunga dan
menerima buket bunga. Bergandengan dan berjalan menuju mobil. Dayang-dayang
kecil-kecil membantu memegang gaun yang hampir menyapu debu halaman rumah.
Gadis kecil-kecil yang lainnya berjalan mundur di depan pengantin sembari
menabur bunga rampai dan beras kuning. Konon katanya supaya kedua pengantin
memberikan keturunan yang bisa mewarnai dunia. Keluarga makin mengerumuni pengantin.
Masker digantung di dagu. Tempat cuci tangan tiada yang mampir, dibiarkan
merana, sendirian.
Pukul 10.00 mobil pengantin bergerak
meninggalkan halaman rumah pengantin wanita. Di depannya sebuah pick up lain lengkap dengan seperangkat gong waning (musik tradisonal Sikka) dan
para penabuhnya juga berbusana adat Sikka komplit. Lipa prenggi (sarung khas
Sikka), kemeja putih lengan panjang, ditambah aksesori sembar (selendang ala
Sikka) tergantung diagonal dari baru menyampir ke pinggang, dan lensu (destar
ala Sikka) di kepala. Mereka mengiringi pengantin dengan irama todu (cepat) membangkitkan semangat bagi
semua rombongan teristimewa kedua pengantin. Iringan dibuat se-perlahan mungkin
agar barisan parade tampak anggun.
Pukul 10.00 pastor paroki uring-uringan
di depan pintu gereja. Rombongan penari papak
terdiam membisu berjajar kiri kanan di pintu gerbang gereja. Mereka malu. Mereka
marah. Mereka panik. Kata-kata sang Pastor terasa menyakitkan lebih sakit dari
virus corona. “Kamu sibuk dengan hal-hal duniawi yang sebentar saja akan
lenyap. Liturgi kamu tidak siapkan dengan baik. Koor tidak ada. Ajuda belum
latihan. Lektor entah dimana. Bagaimana mungkin upacara ini bisa berlangsung
hikmat dan sakral?” begitu kotbah yang disampaikan pastor di depan gereja.
Pukul 10.30 pengantin tiba di gereja.
Musik gong waning makin membahana
mengiringi kedua pengantin turun dari mobil. Akan tetapi, para penari masih
berdiri terpaku di tempatnya. Tidak ada yang mulai menari. Pengantin dan
keluarga sudah berbaris rapi di gerbang gereja dan seharusnya pada saat itu
penari mulai beraksi. Lalu berangsur-angsur gong
waning pun diam dengan sendirinya. Terdengar suara dari depan pintu gereja,
“Pastikan semua yang mau mengikuti upacara ini pakai masker. Tanpa kecuali.
Silakan cuci tangan pakai sabun di kran dekat pintu gerbang gereja. Usahakan
jarak antara satu dengan yang lainnya, 1-2 meter. Setelah itu, ukur suhu tubuh
pada petugas jaga. Terima kasih.”
Semua keluarga yang hadir tampak kaget.
Raba hidung masing-masing. Raba mulut masing-masing. Raba telinga
masing-masing. Ada yang membenahi maskernya. Ada yang lari cepat-cepat ke kios
depan gereja. Ada yang tertunduk lesu. Tak terkecuali kedua pengantin. Rupanya
mereka enggan memakai masker. Saling tatap. Lalu melirik ke tukang rias.
Kemudian melihat ke arah pastor yang berdiri menatap tanpa berkedip dari depan.
Matanya meminta dispensasi. Namun, pastor menggeleng. Mulutnya mohon
dikecualikan. Tapi, pastor diam saja. Akhirnya masker pun terpaksa mampir di
tempatnya. Lipstick tiada lagi. Pensil alis tak tampak lagi. Pemerah pipi
hilang di balik masker. Senyum manis lenyap bersama iringan organis dari dalam gereja
pertanda misa segera dimulai.
Pukul 12.00 misa usai. Tak ada salaman.
Tak ada jabat tangan, apalagi foto-foto dan selfie. Semua keluarga meninggalkan
gereja dengan wajah sendu. Pulang ke rumah tanpa iringan musik.
Pukul 12.30 pengantin tiba di rumah. Gong waning kembali berkumandang.
Kerumunan tak terelakan lagi. Semua bersuka cita. Menari dan bertangis-tangisan
bahagia. Semua berpesta pora (blebuk
meruk) dengan melupakan protokoler kesehatan.
Pukul 08.00 minggu berikutnya. Tiga
puluh tiga orang rapid tes reaktif. Dijemput tim satgas covid. Karantina selama
2 minggu.
mantap...di tunggu episode berikutnta
BalasHapusTerima kasih, siap!!
BalasHapus