Senin, 24 Agustus 2020

BELAJAR MERDEKA (Cerpen)

 


“Syukur ada corona sehingga aku bisa belajar merdeka,” sorak gadis kecilku di suatu siang setelah mengikuti pembelajaran online melalui webex meeting. Aku terpana mendengar pernyataannya. Mata berbinar-binar pula. Senyum sumringah lagi. Lenggak-lenggok gayanya. Cukup centil menggemaskan. Aku belum pernah melihat ekspresi gadis kecilku sedemikian itu sebelum ini.

Dengan menenteng smart phone-nya, ia menari-nari di hadapanku dan kami semua. Kami saling pandang. Aku heran. Pasti. Mamanya tampak bingung. Mungkin. Ia melirik ke arahku. Kakaknya tertawa terpingkal-pingkal. Bukan karena tingkah adiknya, melainkan celana balon yang sedang dipakainya sobek di bagian bokong. Adiknya mencibir penuh cemburu, lalu diam-diam meninggalkan kami. Gadis kecilku itu tidak peduli. Ia mengutak-atik benda dalam genggamannya. Duduk di lantai bersandar di dinding rumah. Selonjoran. Seperti orang yang kelelahan.

“Ada tugas di google classroom yang harus kuselesaikan. Tapi akan kukerjakan sebentar lagi. Aku ingin makan dulu,” katanya pada diri sendiri sembari bernyanyi-nyanyi kecil, lalu beringsut ke meja makan mencari-cari apa yang bisa disantapnya siang itu. Kami saling berpandangan. Semua mata mengikuti langkahnya. Di meja hanya ada nasi dan beberapa potong ikan kering bakar. Eh… ia makan dengan lahap. Tidak biasa. Biasanya ia ngomel-ngomel lalu pergi tidur. Puasa hingga malam menjelang. Baru mau makan kalau minimal ada kuah ikan basah. Kami mengangguk-angguk dan yang lain tampak memahami pola laku anak itu.

Tapi…! Aku bahkan dibuatnya bodoh. Google classroom? Apa itu? Aku yang membelikan HP tersebut, tetapi aku tidak tahu menahu. Aku terpaksa membelikannya HP karena ada aturan belajar dari rumah dengan pola daring. Itu… yang pakai internet, kata gurunya pada waktu kami diundang hadir di sekolahnya. Benar-benar aku tidak mengerti tentangnya dan seluk-beluk yang ada di dalamnya. Yang ku tahu terkait HP, ya, feisbuk, we’a, tewiter: itu yang baru kudengar akhir-akhir ini, tapi belum pernah melihat modelnya. Sebelumnya, ya, cuma es em es dan telepon. Apakah gadis kecilku sedang membohongi aku, ya? batinku.  Aku takut dia kehilangan arah. Aku takut dia tersesat di dalam HP. Aku khawatir ia lupa jalan pulang. Kan banyak tu beritanya di televisi. Anak SMP terlibat perdagangan narkoba. Anak SMP terlibat praktik prostitusi online. Anak SMP terjerat janji palsu kenikmatan harta, ternyata dijadikan komoditi. Anak SMP … bla bla bla bla, semuanya gara-gara HP. Untung gurunya bisa meyakinkan aku sehingga aku berani menghadirkan barang itu.

“Mama tahu, apa yang barusan dikatakannya?” tanyaku pada istriku yang duduk di sebelahku agak menyerong ke depan pesawat televisi, menyaksikan break comersial tentang aplikasi ruang guru. Wanita, belahan hatiku itu hanya mencibir dan seolah merasa kuejek. Ia terus menyaksikan acara yang disiarkan SCTV di depannya. “Ma, aku heran. Heran sekali. Ia mengatakan kalau sekarang ia sedang belajar merdeka. Ia malahan bersyukur adanya pandemi covid ini. Kok, bisa? Semua orang takut terserang corona, tapi gadis kecil ini bahagia karenanya,” kataku padanya. “Mungkin cita-citanya sejak dulu sudah tercapai. Ia sudah memiliki HP sendiri,” kakaknya mencoba mengurai keherananku.

Aku tatap sang Kaka. Tiada berkedip. Serius. Ku buat tidak terkesan main-main. Kaka menunduk melihat keseriusanku. Selama ini ia sering bertengkar dengan adiknya gara-gara HP. Gadis kecil, adiknya itu kadang mengambil HP-nya tanpa izin hanya sekedar membuat status di akun FB-nya. Lebih dari itu, si Kaka takut pulsanya habis. HP itu dibeli dari hasil keringatnya sendiri sebagai guru honorer di salah satu sekolah menengah. Selama ia menjadi siswa dan mahasiswa, tidak pernah dibelikan HP. Padahal, pada zaman itu, umumnya anak-anak seusianya sudah memilikinya. Si Kaka tidak pernah merasa kecil hati. Ia pun tidak pernah sekali pun memintanya. Ia baru memiliki HP setelah merasa bisa membelinya sendiri dari hasil jerih lelahnya.

“Apakah ia pernah menginginkan punya HP sendiri?” tanyaku pada si Kaka. “Setahuku, ia tidak pernah memintanya. Persis seperti kamu waktu dulu sekolah,” lanjutku. Si Kaka mulai mengangkat wajah dan berani menatap mataku. “Ayah, semua anak itu sama, ingin ini dan mau itu. Tapi, kami, aku dan kedua adikku, tidak mau merepotkan ayah dan ibu. Biarlah kami berkelahi dengan HP yang kumiliki, daripada membuat ayah dan ibu beban pikiran. Aku secara diam-diam menasihati mereka untuk tidak ikut-ikutan dengan anak-anak lain. Berteman saja sudah cukup. Jadi diri sendiri saja. Tidak perlu harus jadi orang lain,” katanya padaku dan ibunya.

“Pa, tadi di iklan ruang guru, mereka ada bilang gugel klas rum te,” kata ibu menyela anak sulungnya. “Sepertinya sama dengan yang dibilang Intan tadi. Katanya ada tugas di situ,” lanjut ibunya anak-anak. “Pasti Permata tahulah. Dia kan juga guru,” tandas ibunya. “Aku tahu, tapi sekolahku tidak melaksanakan pembelajaran online. Maklum, sekolah di kampung ni anak-anak belum punya HP,” jawab guru Permata tanpa ekspresi. Datar saja.

“Ya, Yah, Bu, Kak, kami belajar di webex. Kami bisa mendengarkan penjelasan guru. Kami pun bisa bertanya kalau tidak mengerti. Kami bisa juga melihat teman-teman meskipun dari rumah saja. Lucu sekali. Ada teman yang hanya pakai baju putih, tapi dengan celana umpan. Pas ia berdiri, kami lihat semua. Kami tertawa. Ramai sekali tadi,” Intan, si gadis kecil kami itu nyerocos tiada henti setelah dari meja makan. “Nah, terus…ibu guru bilang, kami harus menyelesaikan tugas yang ada di calassroom. Setiap mata pelajaran punya kelas masing-masing. Di sana kami bisa mengisi daftar hadir, membaca materi, mengerjakan tugas, dan mengikuti penilaian harian. Pokoknya seru sekali. Betul-betul merdeka. Aku baru merasakan belajar merdeka karena adanya corona ini,” jelasnya lugas.

“Jadi, selama ini kamu belum merdeka, ya?” tanyaku padanya. “Jelas dong, Yah. Selama ini saya merasa terjajah. Kami dipaksa kerja tugas, boleh cari di internet, tapi aku tak punya HP. Ayah pun terus memaksa agar aku selalu kerja tugas tepat waktu. Tidak boleh buat guru marah. Intinya saya terjajah lahir batin. Ternyata MERDEKA itu sederhana. Asal ada corona, HP android tiba di genggaman. Saya pun bisa atur waktu sendiri untuk belajar kapan saja dan di mana saja. Tidak perlu terkurung terus di kelas. Terima kasih, Ayah, Ibu. Terima kasih semuanya. Hmmm…benar-benar MERDEKA.”

Aku Cuma geleng-geleng. Ibunya manggut-manggut. Permata beranjak ke kamarnya. Intan? Ia masih meneruskan kegiatan belajarnya hingga hari menjelang petang. Ia sedang MERDEKA dalam belajar untuk mencapai tujuan belajar MERDEKA. Sejauh ini, aku tetap menaruh kepercayaan besar padanya. Ia tetap rajin belajar. Tambah rajin membantu mamanya di kamar belakang. Sesekali bisa mencuci pakaian. Lantai rumah selalu bersih. Setiap hari. Hasil belajar MERDEKA??

 

Akhir Agustus 2020

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar