Selasa, 25 Agustus 2020

MERDEKA DARI BALIK KAIN KABUNG

 


Karya Irene Sidok

 

Dari balik bilik pelupu rumah setengah tembokku,  ku dengar derap langkah sepatu mondar mandir di halaman rumahku. Rupanya ada seseorang yang mendatangi rumahku.  Entah milik siapa aku tak tahu. Lalu ku dengar suara agak cepat dan tegas.

“ Ini rumah ada orang ka tidak?” kata pemilik suara yang adalah seorang laki-laki.

“ Ada, Pak. Mama tua ada di dalam,” jawab tetangga ku

“ Mama tua sendiri?” tanyanya lagi.

“ Iya, Pak.”

“ Kasih tahu Mama tua, kasih naik  bendera. Ini sudah tanggal 15 Agustus, pagar juga tidak perbaik lagi,” tegas laki-laki itu.

Aku trenyuh mendengar komentar itu. Sayangnya, dia tidak tahu keadaan ku sekarang. Aku berusaha mengintip untuk memastikan siapa gerangan yang bersuara itu. Oh, rupanya seorang lelaki dengan badan tegap, berseragam loreng lengkap dengan baretnya.

“ Hoo Mo’an tentara,’ gumamku di kamar sepi itu.

“ Bendera? “ pikirku lagi. Aku tak mengingatnya  persis dimana aku menyimpannya. Ku dekati lemari bututku, membolak-balik sejenak, tapi tak ku temui warna merah putih itu. Aku mulai gerah. Keringat mulai mengucur dari balik laking[1] yang ku kenakan menutupi kepalaku. Ku seka dengan ujung sarung ku yang mulai berbau. Rambut kusam yang memutih terasa semakin lepek. Rasa gatal mulai menggerogoti batok kepalaku yang berdaki karena sudah  lama tak  ku bersihkan. Benak ku sibuk berpikir. Mencoba mengingat-ingat di mana gerangan ku menyimpannya. Ku kembali terduduk di bale-bale unen[2] tepat di dekat jendela berjeruji bambu itu agar aku bisa mendapatkan sedikit hembusan angin. Mataku mulai terasa kantuk. Ku putuskan untuk merebahkan diri sejenak di atas bale-bale bambu yang 3x3 meter itu. Kepalaku kuletakan di atas bantal kepok yang mulai menghitam warna sarungnya. Agak dekil baunya. Ku tatap langit-langit kamar tak berplafon itu. Masih tetap mengingat-ingat di mana lembaran kain merah putih itu ku simpan.

Tiba-tiba aku teringat. Sontak ku bangun dari tidurku, menyeret tubuhku turun dari bale-bale menuju ke kamar putraku. Putra sulungku yang telah meninggal sebulan yang lalu, yang katanya karena probable, ia harus dimakamkan di tanah milik saudaraku yang kebetulan hanya itu tanah yang jauh dari pemukiman.

Ronalku yang ku puja-puja sebagai tulang punggungku itu, akhirnya pergi seperti orang asing. Aku harus meratapinya dari jauh keprgian putra malangku itu. Ronalku bahkan tidak boleh disemayamkan di rumahnya sendiri. Tidak ada untaian doa dan syair pengharapan untuk keselamatan jiwanya. Dia pergi meninggalkan luka yang masih bernanah di hati keriputku ini. Tanpa terasa aku sudah mematung di depan lemari olimpik milik Ronal.

Ku tatap wajah lusuhku sejenak, sempat lupa akan apa yang sedang ku cari. Karena di benakku malah dipenuhi wajah putraku itu. Badan tinggi tegapnya seperti Mo’an Tentara yang tadi datang untuk ingatkanku tentang bendera silih berganti datang dan pergi. Begitu nyata. Apakah karena aku terlalu rindu? Aku tak mengerti.  Senyum santunnya seolah memenuhi kaca yang sedang ku tatap.

Perlahan ku raih gagang pintu lemari itu, ku putar ke kiri dua kali dan terbukalah pintu lemari itu. Ku tatapi sejenak isinya. Masih rapi deretan bajunya. Di atas sekali sepasang seragam SMK Bina Maritim lengkap dengan aksesorinya masih terlipat rapi. Sepatu bootnya bahkan masih berdiri gagah di rak paling bawah. Di dasar lipatan pakaiannya, tampak olehku warna merah putih yang mencuat dari pinggir susunan pakaiannya.

Dengan tangan gemetar ku sentuh baju itu hendak memindahkannya, agar aku bisa mengambil bendera itu. Namun, tanpa ku sadari air mata ku gugur lagi. Aku menangis sejadi-jadinya di terik siang itu. Ku ratapi putraku dengan syair yang meluap dari batin ku. Aku telah memendamnya selama sebulan ini. Ku angkat seragam itu, ku dekap erat membayangkan raga putraku di dalam pelukanku. Tak bosan-bosan ku ciumi seragam itu hingga wajah kotorku menodainya.

“Mo’a............mo’a we...” ku panggil anakku dengan sapaan kesayanganku. Berharap dia mendengarnya tapi tak mungkin lagi. Oh, menemukan bendera ini saja terasa melewati perjuangan panjang yang menyakitkan. Merdeka ini terasa kembali mengiris sayatan luka batin ku. Aku harus menangis lagi dan lagi

Hari ini 17 Agustus 2020, tepat 75 tahun Indonesiaku merdeka. Aku terpaku di balik jendela berjeruji bambu itu, dengan kain kabung menutupi kepala dan seluruh tubuhku. Ku intip ke arah bendera merah putih yang berkibar di pucuk tiang. Begitu bebas berkibar tanpa beban. Tanpa sadar aku berkata “ Merdeka Mo’a we.” Diiringi isak perlahan dan hati yang perih.

25 Agustus 2020



[1] Kain berwarna hitam yang dijahit seperti sarung biasa dipakai bersama busana adat Sikka, biasanya digunakan sebagai penutup diri pada masa berkabung.

[2] Kamar utama rumah di kabupaten sikka yang biasanya diletakan watu mahang (batu untuk sesajen) di sudut kanan kamar itu juga sebagai pusat kegiatan ritual adat. . Kamar ini juga digunakan untuk pertemuan keluarga besar bila ada kenduru atau pesta lainnya.

1 komentar: