Karya
Irene Sidok
Dari
balik bilik pelupu rumah setengah tembokku, ku dengar derap langkah sepatu mondar mandir
di halaman rumahku. Rupanya ada seseorang yang mendatangi rumahku. Entah milik siapa aku tak tahu. Lalu ku
dengar suara agak cepat dan tegas.
“
Ini rumah ada orang ka tidak?” kata pemilik suara yang adalah seorang
laki-laki.
“
Ada, Pak. Mama tua ada di dalam,” jawab tetangga ku
“
Mama tua sendiri?” tanyanya lagi.
“
Iya, Pak.”
“
Kasih tahu Mama tua, kasih naik bendera.
Ini sudah tanggal 15 Agustus, pagar juga tidak perbaik lagi,” tegas laki-laki
itu.
Aku trenyuh mendengar komentar itu.
Sayangnya, dia tidak tahu keadaan ku sekarang. Aku berusaha mengintip untuk
memastikan siapa gerangan yang bersuara itu. Oh, rupanya seorang lelaki dengan
badan tegap, berseragam loreng lengkap dengan baretnya.
“
Hoo Mo’an tentara,’ gumamku di kamar sepi itu.
“ Bendera? “ pikirku lagi. Aku tak
mengingatnya persis dimana aku
menyimpannya. Ku dekati lemari bututku, membolak-balik sejenak, tapi tak ku
temui warna merah putih itu. Aku mulai gerah. Keringat mulai mengucur dari
balik laking[1]
yang ku kenakan menutupi kepalaku. Ku seka dengan ujung sarung ku yang mulai
berbau. Rambut kusam yang memutih terasa semakin lepek. Rasa gatal mulai
menggerogoti batok kepalaku yang berdaki karena sudah lama tak ku bersihkan. Benak ku sibuk berpikir. Mencoba
mengingat-ingat di mana gerangan ku menyimpannya. Ku kembali terduduk di
bale-bale unen[2]
tepat di dekat jendela berjeruji bambu itu agar aku bisa mendapatkan sedikit
hembusan angin. Mataku mulai terasa kantuk. Ku putuskan untuk merebahkan diri sejenak
di atas bale-bale bambu yang 3x3 meter itu. Kepalaku kuletakan di atas bantal
kepok yang mulai menghitam warna sarungnya. Agak dekil baunya. Ku tatap
langit-langit kamar tak berplafon itu. Masih tetap mengingat-ingat di mana
lembaran kain merah putih itu ku simpan.
Tiba-tiba aku teringat. Sontak ku bangun dari tidurku, menyeret tubuhku turun dari bale-bale menuju ke kamar putraku. Putra sulungku yang telah meninggal sebulan yang lalu, yang katanya karena probable, ia harus dimakamkan di tanah milik saudaraku yang kebetulan hanya itu tanah yang jauh dari pemukiman.
Ronalku
yang ku puja-puja sebagai tulang punggungku itu, akhirnya pergi seperti orang
asing. Aku harus meratapinya dari jauh keprgian putra malangku itu. Ronalku
bahkan tidak boleh disemayamkan di rumahnya sendiri. Tidak ada untaian doa dan
syair pengharapan untuk keselamatan jiwanya. Dia pergi meninggalkan luka yang
masih bernanah di hati keriputku ini. Tanpa terasa aku sudah mematung di depan
lemari olimpik milik Ronal.
Ku
tatap wajah lusuhku sejenak, sempat lupa akan apa yang sedang ku cari. Karena
di benakku malah dipenuhi wajah putraku itu. Badan tinggi tegapnya seperti
Mo’an Tentara yang tadi datang untuk ingatkanku tentang bendera silih berganti
datang dan pergi. Begitu nyata. Apakah karena aku terlalu rindu? Aku tak
mengerti. Senyum santunnya seolah
memenuhi kaca yang sedang ku tatap.
Perlahan ku raih gagang pintu lemari
itu, ku putar ke kiri dua kali dan terbukalah pintu lemari itu. Ku tatapi
sejenak isinya. Masih rapi deretan bajunya. Di atas sekali sepasang seragam SMK
Bina Maritim lengkap dengan aksesorinya masih terlipat rapi. Sepatu bootnya
bahkan masih berdiri gagah di rak paling bawah. Di dasar lipatan pakaiannya,
tampak olehku warna merah putih yang mencuat dari pinggir susunan pakaiannya.
Dengan tangan gemetar ku sentuh baju
itu hendak memindahkannya, agar aku bisa mengambil bendera itu. Namun, tanpa ku
sadari air mata ku gugur lagi. Aku menangis sejadi-jadinya di terik siang itu.
Ku ratapi putraku dengan syair yang meluap dari batin ku. Aku telah memendamnya
selama sebulan ini. Ku angkat seragam itu, ku dekap erat membayangkan raga
putraku di dalam pelukanku. Tak bosan-bosan ku ciumi seragam itu hingga wajah
kotorku menodainya.
“Mo’a............mo’a
we...” ku panggil anakku dengan sapaan kesayanganku. Berharap dia mendengarnya
tapi tak mungkin lagi. Oh, menemukan bendera ini saja terasa melewati
perjuangan panjang yang menyakitkan. Merdeka ini terasa kembali mengiris
sayatan luka batin ku. Aku harus menangis lagi dan lagi
Hari
ini 17 Agustus 2020, tepat 75 tahun Indonesiaku merdeka. Aku terpaku di balik
jendela berjeruji bambu itu, dengan kain kabung menutupi kepala dan seluruh
tubuhku. Ku intip ke arah bendera merah putih yang berkibar di pucuk tiang. Begitu
bebas berkibar tanpa beban. Tanpa sadar aku berkata “ Merdeka Mo’a we.”
Diiringi isak perlahan dan hati yang perih.
25 Agustus 2020
[1] Kain berwarna hitam yang
dijahit seperti sarung biasa dipakai bersama busana adat Sikka, biasanya
digunakan sebagai penutup diri pada masa berkabung.
[2] Kamar utama rumah di kabupaten
sikka yang biasanya diletakan watu mahang (batu untuk sesajen) di sudut kanan
kamar itu juga sebagai pusat kegiatan ritual adat. . Kamar ini juga digunakan
untuk pertemuan keluarga besar bila ada kenduru atau pesta lainnya.
MAmaku tang kusayangi, aku pasti mendoakanmu selalu7
BalasHapus