Ia menjadi berarti di depan istri dan anak-anaknya. Ia bersyukur dapat menafkahi keluarganya dengan pohon itu. Ia bersuka cita karena dapat membiayai anak-anaknya sekolah. Ia bergembira lantaran setiap urusan adat istiadat di keluarga besar dapat diselesaikan berkat pohon itu. Ia berpesta karenanya. Ia merasa benar-benar merdeka. Untuk itu, ia tidak akan pernah tinggalkan lontar-lontar itu merana tanpa dikunjungi 2 kali dalam sehari. Naik dan turun. Si Tua renta tak pernah terpengaruh dengan malam yang turun menjemput. Ia belum ingin pulang ketika semua sudah di rumahnya masing-masing.
Kini ia sisakan 4 pohon lagi.
Pandangannya sudah mulai mengabur tatkala temaram senja makin mengabut. Setelah
menyelesaikan urusan di atas pohon itu, ia harus turun. Ia harus menyelesaikan
3 pohon yang tersisa menanti usap lembut tangannya. Tiba-tiba, buk! Bunyi
bedebuk keras menyadarkannya dari kerasnya dunia. Tangannya tidak erat
memegang. Kakinya tidak kuat memijak. Keseimbangannya hilang. Ia terjatuh. Ia
terjerembab mencium debu tanah. Ia tidak sadarkan diri. Ia pingsan. Sampai
akhirnya ia tahu kalau begitu banyak orang mengerumuninya.
Ia mendengarkan banyak suara berbicara,
tapi seperti tidak ada yang mendengarkan. Setiap orang berlomba memberi
pendapat, tapi tidak ada yang menanggapi. Ada yang bilang lebih baik ke mama
Bura karena sudah terbukti pernah merawat anggota keluargnya yang mengalami
kecelakaan motor. Tapi sarannya ditelan riuhan suara dari arah berbeda. Ada
yang bilang kalau Ina Goit lebih manjur. Ia merawat pasiennya dengan tangan
yang lembut. Tidak ada rasa sakit sama sekali. Omongan itu pun lenyap bersama
lontaran kata-kata dari mulut yang lain. Terdengar pula suara yang meminta
dipanggil saja Moat Tomas. Konon katanya, orang itu pernah menyambung tulang
yang patah. Itu pun tak ada yang mau peduli.
Si Tua renta mendengarkan mereka satu
per satu. Dibukanya mata perlahan. Agak susah, tapi terus dicobanya. Samar-samar
ia melihat seberkas sinar menerobos kornea matanya. Silau. Gerak refleknya
menutup kembali kelopak itu. Diusahakannya lagi. Perlahan-lahan. Samar ia
melihat wajah istrinya. Tampak murung. Sedih. Gelisah. Entah apalagi. Ia makin
kuat membuka matanya lebar-lebar. Tangannya berniat meraih tapak tangan
istrinya. Tapi susah digerakkan. Sulit. Tidak bisa. Mati rasa. Ia merasa sudah
kehilangan tangannya. Kakinya ingin menyenggol kaki istrinya yang duduk
berselonjor. Tapi berat rasanya. Tak bisa. Tak sanggup. Pun mati rasa. Ia
mengira juga tiada kaki lagi.
Lalu ia coba berbicara. Tapi serak
suaranya. Lidahnya kelu. Tenggorokan kering. Ia berasa ingin minum. Sejurus
tangan lembut istrinya menyuapinya. Sesendok demi sesendok. Lega rasa di dada.
Ia katakan dengan terbata-bata. Ia tidak apa-apa. Ia tidak sakit. Ia tidak
patah. Ia akan baik-baik saja. Itu hanyalah resiko dari pilihannya mencintai
lontar sebagai pasangan keduanya. Itu hanya teguran kecil. Sahabatnya ‘lontar’
mau mengajarinya supaya makin kuat. Sobat sejatinya cuma ingin dia belajar
tentang tegar. Sabar. Kuat. Kokoh seperti dirinya.
Semua yang hadir terdiam. Istrinya
tampak sedikit lega. Matanya mulai berbinar. Ada seulas senyum di wajahnya. Ia
berusaha kuat. Ia berusaha tegar. Ia harus bisa menjadi tangan dan kaki
suaminya saat itu. Ia pasti bisa. Anaknya yang paling besar tiba-tiba muncul
dari balik kerumunan. Ia tampak kaget. Sedikit. Lalu duduk di samping ayahnya.
Ia bilang akan membawanya ke dukun. Dukun terbaik di kampung sebelah. Tiada
yang protes. Ibunya pun ayahnya. Semua serentak setuju. Ia berbisik di telinga
ayahnya, “Lontar-lontar itu akan menjadi sahabatku kini dan nanti.” Si Tua
renta tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar