Minggu, 30 Agustus 2020

LONTAR (Cerpen)

 

 

     Senja makin merah. Mentari hampir tenggelam. Insan penghuni jagat maya pada bergegas kembali pulang. Pulang dari tempat kerja. Pulang dari tempat bermain. Pulang dari tempat bersenda gurau. Pulang dari hiruk pikuk dunia. Pulang ke rumah masing-masing. Lain halnya dengan pria tua renta di ujung kampung itu. Ia masih bergulat dengan pekerjaannya. Masih ada beberapa pohon lontar yang belum dipanjatnya. Sepertinya ia tidak terganggu dengan hilir mudiknya orang-orang di kampungnya yang bergegas pulang. Dalam hitungannya masih ada 5 pohon lontar yang harus ia panjat. Ia iris. Ia bawa turun hasil sadapan. Begitu seterusnya yang ia lakukan untuk setiap pohon. Baginya, lontalah kebahagiaan tertinggi yang ia peroleh dalam hidup. Makna hidupnya terletak di sana.


Ia menjadi berarti di depan istri dan anak-anaknya. Ia bersyukur dapat menafkahi keluarganya dengan pohon itu. Ia bersuka cita karena dapat membiayai anak-anaknya sekolah. Ia bergembira lantaran setiap urusan adat istiadat di keluarga besar dapat diselesaikan berkat pohon itu. Ia berpesta karenanya. Ia merasa benar-benar merdeka. Untuk itu, ia tidak akan pernah tinggalkan lontar-lontar itu merana tanpa dikunjungi 2 kali dalam sehari. Naik dan turun. Si Tua renta tak pernah terpengaruh dengan malam yang turun menjemput. Ia belum ingin pulang ketika semua sudah di rumahnya masing-masing.

Kini ia sisakan 4 pohon lagi. Pandangannya sudah mulai mengabur tatkala temaram senja makin mengabut. Setelah menyelesaikan urusan di atas pohon itu, ia harus turun. Ia harus menyelesaikan 3 pohon yang tersisa menanti usap lembut tangannya. Tiba-tiba, buk! Bunyi bedebuk keras menyadarkannya dari kerasnya dunia. Tangannya tidak erat memegang. Kakinya tidak kuat memijak. Keseimbangannya hilang. Ia terjatuh. Ia terjerembab mencium debu tanah. Ia tidak sadarkan diri. Ia pingsan. Sampai akhirnya ia tahu kalau begitu banyak orang mengerumuninya.

Ia mendengarkan banyak suara berbicara, tapi seperti tidak ada yang mendengarkan. Setiap orang berlomba memberi pendapat, tapi tidak ada yang menanggapi. Ada yang bilang lebih baik ke mama Bura karena sudah terbukti pernah merawat anggota keluargnya yang mengalami kecelakaan motor. Tapi sarannya ditelan riuhan suara dari arah berbeda. Ada yang bilang kalau Ina Goit lebih manjur. Ia merawat pasiennya dengan tangan yang lembut. Tidak ada rasa sakit sama sekali. Omongan itu pun lenyap bersama lontaran kata-kata dari mulut yang lain. Terdengar pula suara yang meminta dipanggil saja Moat Tomas. Konon katanya, orang itu pernah menyambung tulang yang patah. Itu pun tak ada yang mau peduli.

Si Tua renta mendengarkan mereka satu per satu. Dibukanya mata perlahan. Agak susah, tapi terus dicobanya. Samar-samar ia melihat seberkas sinar menerobos kornea matanya. Silau. Gerak refleknya menutup kembali kelopak itu. Diusahakannya lagi. Perlahan-lahan. Samar ia melihat wajah istrinya. Tampak murung. Sedih. Gelisah. Entah apalagi. Ia makin kuat membuka matanya lebar-lebar. Tangannya berniat meraih tapak tangan istrinya. Tapi susah digerakkan. Sulit. Tidak bisa. Mati rasa. Ia merasa sudah kehilangan tangannya. Kakinya ingin menyenggol kaki istrinya yang duduk berselonjor. Tapi berat rasanya. Tak bisa. Tak sanggup. Pun mati rasa. Ia mengira juga tiada kaki lagi.

Lalu ia coba berbicara. Tapi serak suaranya. Lidahnya kelu. Tenggorokan kering. Ia berasa ingin minum. Sejurus tangan lembut istrinya menyuapinya. Sesendok demi sesendok. Lega rasa di dada. Ia katakan dengan terbata-bata. Ia tidak apa-apa. Ia tidak sakit. Ia tidak patah. Ia akan baik-baik saja. Itu hanyalah resiko dari pilihannya mencintai lontar sebagai pasangan keduanya. Itu hanya teguran kecil. Sahabatnya ‘lontar’ mau mengajarinya supaya makin kuat. Sobat sejatinya cuma ingin dia belajar tentang tegar. Sabar. Kuat. Kokoh seperti dirinya.

Semua yang hadir terdiam. Istrinya tampak sedikit lega. Matanya mulai berbinar. Ada seulas senyum di wajahnya. Ia berusaha kuat. Ia berusaha tegar. Ia harus bisa menjadi tangan dan kaki suaminya saat itu. Ia pasti bisa. Anaknya yang paling besar tiba-tiba muncul dari balik kerumunan. Ia tampak kaget. Sedikit. Lalu duduk di samping ayahnya. Ia bilang akan membawanya ke dukun. Dukun terbaik di kampung sebelah. Tiada yang protes. Ibunya pun ayahnya. Semua serentak setuju. Ia berbisik di telinga ayahnya, “Lontar-lontar itu akan menjadi sahabatku kini dan nanti.” Si Tua renta tersenyum.

 

 

 

 

                                                                                                                                                                                                                                                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar