Gemuruh hati kian tak menentu. “Bapa, ini ada
surat,”kata salah seorang sahabat baikku siang itu. Tanganku gemeletar tatkala
meraih amplop putih berlabelkan kepolisian itu. Aku tak kuat membukanya, tapi
anganku mampu menelusuri asal muasal surat itu hingga tiba di tanganku kini.
“Bisakah kamu membuka dan membacakannya untukku?”pintaku padanya. “Maaf, Bapa.
Aku pun mendapatkan surat yang sama. Tadi diserahkan kepala sekolah,”jawabnya
agak gugup. Bergegas ku berdiri dan meraih lengannya untuk menemui kepala
sekolah. Tanpa ba bi bu, dia
mengikuti saja langkah kakiku bergerak.
“Selamat siang, …!”seru kami berdua hampir tak
terdengar. Akan tetapi, sang Kepsek sudah menganggukkan kepala dan kerlingan
matanya menandakan bahwa kami boleh duduk di sofa ruang kerjanya. “Begini,”kata
Kepsek sembari mendekati kami dan duduk pula di depan kami berdua. “Kalian
berdua diminta memberi kesaksian terkait masalah kemarin. Tadi polisi itu
datang ke sini,”jelas Kepsek. “Lusa kalian harus ke sana. Jangan terlambat. Jangan
sampai mereka menganggap kita membangkang,”katanya dengan suara pasti.
Tak ada kata. Tiada kalimat. Tidak pula ada
ekspresi. Dingin. Hambar. Hampa. Dunia seakan berhenti sejenak dari rotasinya.
Mimpikah? Aku meninggalkan ruang Kepsek hanya dengan sopan menunduk. Tak kutahu
bagaimana rasa hati sahabatku saat itu. Aku tidak bisa langsung pulang ke rumah
siang ini. Aku tidak bisa menjelaskan apa pun pada mereka. Walau mereka sudah
tahu peristiwa yang tengah menimpa atau tertimpa atau ditimpakan padaku, aku
tak sanggup menyampaikan hal ihwal surat panggilan itu.
Lingkungan sekolah sudah kian sepi. Semua warga
sudah bubar entah beberapa jam berlalu. Aku masih di sini. Aku masih tidak
mengerti. Haruskah aku menyalahkan diri sendiri. Salahkah aku mendidik mereka?
Santunkah kata-kata itu dialamatkan padaku oleh mereka? Mereka tidak boleh
salah? Mereka tidak boleh dipersalahkan? Padahal, aku hanya mau mereka jujur.
Bagiku, berbohong adalah kiamat. Berbohong itu akar bagi semua kejahatan di
muka bumi ini. Jujur. Satu kata itu saja yang kutuntut dari mereka. Tapi
kebutuhanku akan satu kata itulah, kini kuterpenjara di luar penjara yang
sesungguhnya. Sakit.
Aku mendatangi guruku dengan perasaan takut.
Guruku itu tidak mungkin menghadirkanku tanpa sebab. Tapi, aku tak tahu sebab
apakah gerangan? “Apa yang kamu tulis di FB tentang aku?”tanyanya garang.
Wajahnya merah padam. Aku tahu itu ekspresi marah yang tak tertahankan. Aku
menggeleng dan bingung. Diulanginya pertanyaan yang sama padaku dengan nada
tinggi. Aku makin takut. Rasanya aku ada di alam lain yang penuh dengan aroma
marabahaya bagiku. Aku terdiam. Aku membisu. Lidahku kelu. “Jawab!”bentaknya
pula. “Aku tidak tahu, Pak!”kataku dengan terbata-bata dan kuberani menatap
sekejap ke wajahnya. Hanya sekejap. Aku lalu tertunduk lagi. Guruku itu kian
dekat ke arahku. Aku terpaku. Tak mampu bergerak mundur. Tak ada niat buat
melarikan diri. (selanjutnyaKlik di sini !
Mantap bapa...kisah yg dri pengalaman hidup..tetap tegar mjdi guru sejati. Krna tanpa guru dunia akan mati..
BalasHapusBegitulah guru. Digugu tapi digurui pula
HapusKisah yang luar biasa...
BalasHapussemangat bapa guru...
Terima kasih. Semoga jadi bahan refleksi untuk setiap pelaku pendidikan
HapusKarya yg bagus...blognya jg kreatif...smngat bpa
BalasHapusTerima kasih, Guruku
HapusSungguh luar biasa Bpk'kisah dari pengalaman yg luar biasa,Tetap semangat jadi seorang guru🙏
BalasHapusTerima kasih. Boleh tahu akun ini "unknown" milik siapa
HapusHadir wue
BalasHapusSaya sudah tahu ni orangnya. Beling Shihab
BalasHapus