Jumat, 31 Juli 2020

JUJUR VS PRO-JUSTISIA (Cerpen)


Gemuruh hati kian tak menentu. “Bapa, ini ada surat,”kata salah seorang sahabat baikku siang itu. Tanganku gemeletar tatkala meraih amplop putih berlabelkan kepolisian itu. Aku tak kuat membukanya, tapi anganku mampu menelusuri asal muasal surat itu hingga tiba di tanganku kini. “Bisakah kamu membuka dan membacakannya untukku?”pintaku padanya. “Maaf, Bapa. Aku pun mendapatkan surat yang sama. Tadi diserahkan kepala sekolah,”jawabnya agak gugup. Bergegas ku berdiri dan meraih lengannya untuk menemui kepala sekolah. Tanpa ba bi bu, dia mengikuti saja langkah kakiku bergerak.

“Selamat siang, …!”seru kami berdua hampir tak terdengar. Akan tetapi, sang Kepsek sudah menganggukkan kepala dan kerlingan matanya menandakan bahwa kami boleh duduk di sofa ruang kerjanya. “Begini,”kata Kepsek sembari mendekati kami dan duduk pula di depan kami berdua. “Kalian berdua diminta memberi kesaksian terkait masalah kemarin. Tadi polisi itu datang ke sini,”jelas Kepsek. “Lusa kalian harus ke sana. Jangan terlambat. Jangan sampai mereka menganggap kita membangkang,”katanya dengan suara pasti.
Tak ada kata. Tiada kalimat. Tidak pula ada ekspresi. Dingin. Hambar. Hampa. Dunia seakan berhenti sejenak dari rotasinya. Mimpikah? Aku meninggalkan ruang Kepsek hanya dengan sopan menunduk. Tak kutahu bagaimana rasa hati sahabatku saat itu. Aku tidak bisa langsung pulang ke rumah siang ini. Aku tidak bisa menjelaskan apa pun pada mereka. Walau mereka sudah tahu peristiwa yang tengah menimpa atau tertimpa atau ditimpakan padaku, aku tak sanggup menyampaikan hal ihwal surat panggilan itu.
Lingkungan sekolah sudah kian sepi. Semua warga sudah bubar entah beberapa jam berlalu. Aku masih di sini. Aku masih tidak mengerti. Haruskah aku menyalahkan diri sendiri. Salahkah aku mendidik mereka? Santunkah kata-kata itu dialamatkan padaku oleh mereka? Mereka tidak boleh salah? Mereka tidak boleh dipersalahkan? Padahal, aku hanya mau mereka jujur. Bagiku, berbohong adalah kiamat. Berbohong itu akar bagi semua kejahatan di muka bumi ini. Jujur. Satu kata itu saja yang kutuntut dari mereka. Tapi kebutuhanku akan satu kata itulah, kini kuterpenjara di luar penjara yang sesungguhnya. Sakit.

Aku mendatangi guruku dengan perasaan takut. Guruku itu tidak mungkin menghadirkanku tanpa sebab. Tapi, aku tak tahu sebab apakah gerangan? “Apa yang kamu tulis di FB tentang aku?”tanyanya garang. Wajahnya merah padam. Aku tahu itu ekspresi marah yang tak tertahankan. Aku menggeleng dan bingung. Diulanginya pertanyaan yang sama padaku dengan nada tinggi. Aku makin takut. Rasanya aku ada di alam lain yang penuh dengan aroma marabahaya bagiku. Aku terdiam. Aku membisu. Lidahku kelu. “Jawab!”bentaknya pula. “Aku tidak tahu, Pak!”kataku dengan terbata-bata dan kuberani menatap sekejap ke wajahnya. Hanya sekejap. Aku lalu tertunduk lagi. Guruku itu kian dekat ke arahku. Aku terpaku. Tak mampu bergerak mundur. Tak ada niat buat melarikan diri. (selanjutnyaKlik di sini !

10 komentar:

  1. Mantap bapa...kisah yg dri pengalaman hidup..tetap tegar mjdi guru sejati. Krna tanpa guru dunia akan mati..

    BalasHapus
  2. Kisah yang luar biasa...

    semangat bapa guru...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih. Semoga jadi bahan refleksi untuk setiap pelaku pendidikan

      Hapus
  3. Karya yg bagus...blognya jg kreatif...smngat bpa

    BalasHapus
  4. Sungguh luar biasa Bpk'kisah dari pengalaman yg luar biasa,Tetap semangat jadi seorang guru🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih. Boleh tahu akun ini "unknown" milik siapa

      Hapus
  5. Saya sudah tahu ni orangnya. Beling Shihab

    BalasHapus