Minggu, 30 Agustus 2020

LONTAR TREE


Twilight is getting redder. The sun is almost sinking. Human beings who live in the virtual universe rush back home. Come home from work. Come home from the playground. Come home from where to joke. Home from the hustle and bustle of the world. Return to their respective homes. Another case with the old man at the end of the village. He is still struggling with his job. There were still some palm trees that he had not climbed. It seemed that he was not bothered by the passing of the people in his village who were rushing home. In his count there were still 5 palm trees that he had to climb. He sliced. He brought down the leads. And so on what he did for each tree. For him, lontalah the highest happiness he gets in life. The meaning of his life lies there.

He becomes meaningful in front of his wife and children. He is grateful to be able to provide for his family with that tree. He is happy because he can pay for his children to go to school. He was happy because every customary business in the extended family could be completed thanks to that tree. He feasted on it. He felt truly free. For that, he will never leave those papyrus languishing without being visited twice a day. Up and down. The old man is never affected by the night that comes down to pick him up. He didn't want to go home yet when everyone was at his own house.

Now he leaves 4 more trees. His gaze had started to blur when the dusk became more and more foggy. After finishing the business on the tree, he had to go down. He must finish the remaining 3 trees waiting to gently rub his hands. Suddenly, thump! A loud thud awakened him from the rigors of the world. His hands were not tight. His feet could not stand on. The balance is lost. He fell. He fell to the ground smelled dust. He is unconscious. He passed out. Until finally he found out that so many people crowded around him.

He heard many voices talking, but it seemed as if no one was listening. Everyone competes to give their opinion, but no one responds. Some say it is better to Mama Bura because it has been proven that she has cared for her family member who had a motorbike accident. But his suggestion was swallowed up by the sound of voices from different directions. Some say that Ina Goit is more potent. He treats his patients with soft hands. There is no pain at all. The talk disappeared along with the words from the other mouths. There was also a voice asking to be called Moat Tomas. It is said that he had put a broken bone together. Even then, no one wants to care.

The old man listened to them one by one. He opened his eyes slowly. It's a bit difficult, but he keeps trying. He could vaguely see a light streak through his corneas. Dazzled. His reflex motion closed the petals again. He tried again. Slowly. Faint he sees his wife's face. Looks gloomy. Sad. Restless. I don't know what else. He got stronger and opened his eyes wide. His hand intends to reach his wife's palm. But it's hard to move. Difficult. Can not. Numb. He felt that he had lost his hand. His feet wanted to touch his wife's leg, who was sitting on his back. But it's heavy. Can not. Can not take. Even numb. He thought he had no legs anymore.

Then he tried to speak. But hoarse in voice. His tongue was out. Dry throat. He felt like drinking. His wife's soft hand fed him. Spoonful by spoonful. Relief in chest. He said haltingly. He's all right. He's not sick. It's not broken. He will be fine. That is just the risk of the choice to love lontar as her second partner. It's just a small rebuke. His friend 'lontar' wanted to teach him to be stronger. His real friend just wanted him to learn about being tough. Patient. Strong. Sturdy like him.

Everyone present fell silent. His wife looked a little relieved. Her eyes started sparkling. There was a smile on his face. He tried hard. He tried to be strong. She had to be her husband's hands and feet at that time. He can do it. The biggest child suddenly appeared from behind the crowd. He looked surprised. A little. Then sit next to his father. He said he would take him to a witch doctor. Best shaman in the village next door. No one protested. His mother is also his father. All simultaneously agreed. He whispered in his father's ear, "Those manuscripts will be my friends now and in the future." The old man smiled. 

LONTAR (Cerpen)

 

 

     Senja makin merah. Mentari hampir tenggelam. Insan penghuni jagat maya pada bergegas kembali pulang. Pulang dari tempat kerja. Pulang dari tempat bermain. Pulang dari tempat bersenda gurau. Pulang dari hiruk pikuk dunia. Pulang ke rumah masing-masing. Lain halnya dengan pria tua renta di ujung kampung itu. Ia masih bergulat dengan pekerjaannya. Masih ada beberapa pohon lontar yang belum dipanjatnya. Sepertinya ia tidak terganggu dengan hilir mudiknya orang-orang di kampungnya yang bergegas pulang. Dalam hitungannya masih ada 5 pohon lontar yang harus ia panjat. Ia iris. Ia bawa turun hasil sadapan. Begitu seterusnya yang ia lakukan untuk setiap pohon. Baginya, lontalah kebahagiaan tertinggi yang ia peroleh dalam hidup. Makna hidupnya terletak di sana.


Ia menjadi berarti di depan istri dan anak-anaknya. Ia bersyukur dapat menafkahi keluarganya dengan pohon itu. Ia bersuka cita karena dapat membiayai anak-anaknya sekolah. Ia bergembira lantaran setiap urusan adat istiadat di keluarga besar dapat diselesaikan berkat pohon itu. Ia berpesta karenanya. Ia merasa benar-benar merdeka. Untuk itu, ia tidak akan pernah tinggalkan lontar-lontar itu merana tanpa dikunjungi 2 kali dalam sehari. Naik dan turun. Si Tua renta tak pernah terpengaruh dengan malam yang turun menjemput. Ia belum ingin pulang ketika semua sudah di rumahnya masing-masing.

Kini ia sisakan 4 pohon lagi. Pandangannya sudah mulai mengabur tatkala temaram senja makin mengabut. Setelah menyelesaikan urusan di atas pohon itu, ia harus turun. Ia harus menyelesaikan 3 pohon yang tersisa menanti usap lembut tangannya. Tiba-tiba, buk! Bunyi bedebuk keras menyadarkannya dari kerasnya dunia. Tangannya tidak erat memegang. Kakinya tidak kuat memijak. Keseimbangannya hilang. Ia terjatuh. Ia terjerembab mencium debu tanah. Ia tidak sadarkan diri. Ia pingsan. Sampai akhirnya ia tahu kalau begitu banyak orang mengerumuninya.

Ia mendengarkan banyak suara berbicara, tapi seperti tidak ada yang mendengarkan. Setiap orang berlomba memberi pendapat, tapi tidak ada yang menanggapi. Ada yang bilang lebih baik ke mama Bura karena sudah terbukti pernah merawat anggota keluargnya yang mengalami kecelakaan motor. Tapi sarannya ditelan riuhan suara dari arah berbeda. Ada yang bilang kalau Ina Goit lebih manjur. Ia merawat pasiennya dengan tangan yang lembut. Tidak ada rasa sakit sama sekali. Omongan itu pun lenyap bersama lontaran kata-kata dari mulut yang lain. Terdengar pula suara yang meminta dipanggil saja Moat Tomas. Konon katanya, orang itu pernah menyambung tulang yang patah. Itu pun tak ada yang mau peduli.

Si Tua renta mendengarkan mereka satu per satu. Dibukanya mata perlahan. Agak susah, tapi terus dicobanya. Samar-samar ia melihat seberkas sinar menerobos kornea matanya. Silau. Gerak refleknya menutup kembali kelopak itu. Diusahakannya lagi. Perlahan-lahan. Samar ia melihat wajah istrinya. Tampak murung. Sedih. Gelisah. Entah apalagi. Ia makin kuat membuka matanya lebar-lebar. Tangannya berniat meraih tapak tangan istrinya. Tapi susah digerakkan. Sulit. Tidak bisa. Mati rasa. Ia merasa sudah kehilangan tangannya. Kakinya ingin menyenggol kaki istrinya yang duduk berselonjor. Tapi berat rasanya. Tak bisa. Tak sanggup. Pun mati rasa. Ia mengira juga tiada kaki lagi.

Lalu ia coba berbicara. Tapi serak suaranya. Lidahnya kelu. Tenggorokan kering. Ia berasa ingin minum. Sejurus tangan lembut istrinya menyuapinya. Sesendok demi sesendok. Lega rasa di dada. Ia katakan dengan terbata-bata. Ia tidak apa-apa. Ia tidak sakit. Ia tidak patah. Ia akan baik-baik saja. Itu hanyalah resiko dari pilihannya mencintai lontar sebagai pasangan keduanya. Itu hanya teguran kecil. Sahabatnya ‘lontar’ mau mengajarinya supaya makin kuat. Sobat sejatinya cuma ingin dia belajar tentang tegar. Sabar. Kuat. Kokoh seperti dirinya.

Semua yang hadir terdiam. Istrinya tampak sedikit lega. Matanya mulai berbinar. Ada seulas senyum di wajahnya. Ia berusaha kuat. Ia berusaha tegar. Ia harus bisa menjadi tangan dan kaki suaminya saat itu. Ia pasti bisa. Anaknya yang paling besar tiba-tiba muncul dari balik kerumunan. Ia tampak kaget. Sedikit. Lalu duduk di samping ayahnya. Ia bilang akan membawanya ke dukun. Dukun terbaik di kampung sebelah. Tiada yang protes. Ibunya pun ayahnya. Semua serentak setuju. Ia berbisik di telinga ayahnya, “Lontar-lontar itu akan menjadi sahabatku kini dan nanti.” Si Tua renta tersenyum.

 

 

 

 

                                                                                                                                                                                                                                                   

Kamis, 27 Agustus 2020

PIDATO PERSUASIF (Aspek Kebahasaan)




 Hai, apakah kalian senang berpidato? Ya, sebelum berpidato, kalian harus menyiapkan naskahnya terlebih dahulu, apalagi yang masih pemula. Ada aspek kebahasaan teks yang harus kalian kuasai sebelum menyusun teks pidato atau membawakan pidato. Di sini ada informasi terkait hal dimaksud. Jika berminat, silakan KLIK DI SINI!  Jangan lupa tinggalkan komentar di bawah ini!

Selasa, 25 Agustus 2020

MERDEKA DARI BALIK KAIN KABUNG

 


Karya Irene Sidok

 

Dari balik bilik pelupu rumah setengah tembokku,  ku dengar derap langkah sepatu mondar mandir di halaman rumahku. Rupanya ada seseorang yang mendatangi rumahku.  Entah milik siapa aku tak tahu. Lalu ku dengar suara agak cepat dan tegas.

“ Ini rumah ada orang ka tidak?” kata pemilik suara yang adalah seorang laki-laki.

“ Ada, Pak. Mama tua ada di dalam,” jawab tetangga ku

“ Mama tua sendiri?” tanyanya lagi.

“ Iya, Pak.”

“ Kasih tahu Mama tua, kasih naik  bendera. Ini sudah tanggal 15 Agustus, pagar juga tidak perbaik lagi,” tegas laki-laki itu.

Aku trenyuh mendengar komentar itu. Sayangnya, dia tidak tahu keadaan ku sekarang. Aku berusaha mengintip untuk memastikan siapa gerangan yang bersuara itu. Oh, rupanya seorang lelaki dengan badan tegap, berseragam loreng lengkap dengan baretnya.

“ Hoo Mo’an tentara,’ gumamku di kamar sepi itu.

“ Bendera? “ pikirku lagi. Aku tak mengingatnya  persis dimana aku menyimpannya. Ku dekati lemari bututku, membolak-balik sejenak, tapi tak ku temui warna merah putih itu. Aku mulai gerah. Keringat mulai mengucur dari balik laking[1] yang ku kenakan menutupi kepalaku. Ku seka dengan ujung sarung ku yang mulai berbau. Rambut kusam yang memutih terasa semakin lepek. Rasa gatal mulai menggerogoti batok kepalaku yang berdaki karena sudah  lama tak  ku bersihkan. Benak ku sibuk berpikir. Mencoba mengingat-ingat di mana gerangan ku menyimpannya. Ku kembali terduduk di bale-bale unen[2] tepat di dekat jendela berjeruji bambu itu agar aku bisa mendapatkan sedikit hembusan angin. Mataku mulai terasa kantuk. Ku putuskan untuk merebahkan diri sejenak di atas bale-bale bambu yang 3x3 meter itu. Kepalaku kuletakan di atas bantal kepok yang mulai menghitam warna sarungnya. Agak dekil baunya. Ku tatap langit-langit kamar tak berplafon itu. Masih tetap mengingat-ingat di mana lembaran kain merah putih itu ku simpan.

Tiba-tiba aku teringat. Sontak ku bangun dari tidurku, menyeret tubuhku turun dari bale-bale menuju ke kamar putraku. Putra sulungku yang telah meninggal sebulan yang lalu, yang katanya karena probable, ia harus dimakamkan di tanah milik saudaraku yang kebetulan hanya itu tanah yang jauh dari pemukiman.

Ronalku yang ku puja-puja sebagai tulang punggungku itu, akhirnya pergi seperti orang asing. Aku harus meratapinya dari jauh keprgian putra malangku itu. Ronalku bahkan tidak boleh disemayamkan di rumahnya sendiri. Tidak ada untaian doa dan syair pengharapan untuk keselamatan jiwanya. Dia pergi meninggalkan luka yang masih bernanah di hati keriputku ini. Tanpa terasa aku sudah mematung di depan lemari olimpik milik Ronal.

Ku tatap wajah lusuhku sejenak, sempat lupa akan apa yang sedang ku cari. Karena di benakku malah dipenuhi wajah putraku itu. Badan tinggi tegapnya seperti Mo’an Tentara yang tadi datang untuk ingatkanku tentang bendera silih berganti datang dan pergi. Begitu nyata. Apakah karena aku terlalu rindu? Aku tak mengerti.  Senyum santunnya seolah memenuhi kaca yang sedang ku tatap.

Perlahan ku raih gagang pintu lemari itu, ku putar ke kiri dua kali dan terbukalah pintu lemari itu. Ku tatapi sejenak isinya. Masih rapi deretan bajunya. Di atas sekali sepasang seragam SMK Bina Maritim lengkap dengan aksesorinya masih terlipat rapi. Sepatu bootnya bahkan masih berdiri gagah di rak paling bawah. Di dasar lipatan pakaiannya, tampak olehku warna merah putih yang mencuat dari pinggir susunan pakaiannya.

Dengan tangan gemetar ku sentuh baju itu hendak memindahkannya, agar aku bisa mengambil bendera itu. Namun, tanpa ku sadari air mata ku gugur lagi. Aku menangis sejadi-jadinya di terik siang itu. Ku ratapi putraku dengan syair yang meluap dari batin ku. Aku telah memendamnya selama sebulan ini. Ku angkat seragam itu, ku dekap erat membayangkan raga putraku di dalam pelukanku. Tak bosan-bosan ku ciumi seragam itu hingga wajah kotorku menodainya.

“Mo’a............mo’a we...” ku panggil anakku dengan sapaan kesayanganku. Berharap dia mendengarnya tapi tak mungkin lagi. Oh, menemukan bendera ini saja terasa melewati perjuangan panjang yang menyakitkan. Merdeka ini terasa kembali mengiris sayatan luka batin ku. Aku harus menangis lagi dan lagi

Hari ini 17 Agustus 2020, tepat 75 tahun Indonesiaku merdeka. Aku terpaku di balik jendela berjeruji bambu itu, dengan kain kabung menutupi kepala dan seluruh tubuhku. Ku intip ke arah bendera merah putih yang berkibar di pucuk tiang. Begitu bebas berkibar tanpa beban. Tanpa sadar aku berkata “ Merdeka Mo’a we.” Diiringi isak perlahan dan hati yang perih.

25 Agustus 2020



[1] Kain berwarna hitam yang dijahit seperti sarung biasa dipakai bersama busana adat Sikka, biasanya digunakan sebagai penutup diri pada masa berkabung.

[2] Kamar utama rumah di kabupaten sikka yang biasanya diletakan watu mahang (batu untuk sesajen) di sudut kanan kamar itu juga sebagai pusat kegiatan ritual adat. . Kamar ini juga digunakan untuk pertemuan keluarga besar bila ada kenduru atau pesta lainnya.

Senin, 24 Agustus 2020

BELAJAR MERDEKA (Cerpen)

 


“Syukur ada corona sehingga aku bisa belajar merdeka,” sorak gadis kecilku di suatu siang setelah mengikuti pembelajaran online melalui webex meeting. Aku terpana mendengar pernyataannya. Mata berbinar-binar pula. Senyum sumringah lagi. Lenggak-lenggok gayanya. Cukup centil menggemaskan. Aku belum pernah melihat ekspresi gadis kecilku sedemikian itu sebelum ini.

Dengan menenteng smart phone-nya, ia menari-nari di hadapanku dan kami semua. Kami saling pandang. Aku heran. Pasti. Mamanya tampak bingung. Mungkin. Ia melirik ke arahku. Kakaknya tertawa terpingkal-pingkal. Bukan karena tingkah adiknya, melainkan celana balon yang sedang dipakainya sobek di bagian bokong. Adiknya mencibir penuh cemburu, lalu diam-diam meninggalkan kami. Gadis kecilku itu tidak peduli. Ia mengutak-atik benda dalam genggamannya. Duduk di lantai bersandar di dinding rumah. Selonjoran. Seperti orang yang kelelahan.

“Ada tugas di google classroom yang harus kuselesaikan. Tapi akan kukerjakan sebentar lagi. Aku ingin makan dulu,” katanya pada diri sendiri sembari bernyanyi-nyanyi kecil, lalu beringsut ke meja makan mencari-cari apa yang bisa disantapnya siang itu. Kami saling berpandangan. Semua mata mengikuti langkahnya. Di meja hanya ada nasi dan beberapa potong ikan kering bakar. Eh… ia makan dengan lahap. Tidak biasa. Biasanya ia ngomel-ngomel lalu pergi tidur. Puasa hingga malam menjelang. Baru mau makan kalau minimal ada kuah ikan basah. Kami mengangguk-angguk dan yang lain tampak memahami pola laku anak itu.

Tapi…! Aku bahkan dibuatnya bodoh. Google classroom? Apa itu? Aku yang membelikan HP tersebut, tetapi aku tidak tahu menahu. Aku terpaksa membelikannya HP karena ada aturan belajar dari rumah dengan pola daring. Itu… yang pakai internet, kata gurunya pada waktu kami diundang hadir di sekolahnya. Benar-benar aku tidak mengerti tentangnya dan seluk-beluk yang ada di dalamnya. Yang ku tahu terkait HP, ya, feisbuk, we’a, tewiter: itu yang baru kudengar akhir-akhir ini, tapi belum pernah melihat modelnya. Sebelumnya, ya, cuma es em es dan telepon. Apakah gadis kecilku sedang membohongi aku, ya? batinku.  Aku takut dia kehilangan arah. Aku takut dia tersesat di dalam HP. Aku khawatir ia lupa jalan pulang. Kan banyak tu beritanya di televisi. Anak SMP terlibat perdagangan narkoba. Anak SMP terlibat praktik prostitusi online. Anak SMP terjerat janji palsu kenikmatan harta, ternyata dijadikan komoditi. Anak SMP … bla bla bla bla, semuanya gara-gara HP. Untung gurunya bisa meyakinkan aku sehingga aku berani menghadirkan barang itu.

“Mama tahu, apa yang barusan dikatakannya?” tanyaku pada istriku yang duduk di sebelahku agak menyerong ke depan pesawat televisi, menyaksikan break comersial tentang aplikasi ruang guru. Wanita, belahan hatiku itu hanya mencibir dan seolah merasa kuejek. Ia terus menyaksikan acara yang disiarkan SCTV di depannya. “Ma, aku heran. Heran sekali. Ia mengatakan kalau sekarang ia sedang belajar merdeka. Ia malahan bersyukur adanya pandemi covid ini. Kok, bisa? Semua orang takut terserang corona, tapi gadis kecil ini bahagia karenanya,” kataku padanya. “Mungkin cita-citanya sejak dulu sudah tercapai. Ia sudah memiliki HP sendiri,” kakaknya mencoba mengurai keherananku.

Aku tatap sang Kaka. Tiada berkedip. Serius. Ku buat tidak terkesan main-main. Kaka menunduk melihat keseriusanku. Selama ini ia sering bertengkar dengan adiknya gara-gara HP. Gadis kecil, adiknya itu kadang mengambil HP-nya tanpa izin hanya sekedar membuat status di akun FB-nya. Lebih dari itu, si Kaka takut pulsanya habis. HP itu dibeli dari hasil keringatnya sendiri sebagai guru honorer di salah satu sekolah menengah. Selama ia menjadi siswa dan mahasiswa, tidak pernah dibelikan HP. Padahal, pada zaman itu, umumnya anak-anak seusianya sudah memilikinya. Si Kaka tidak pernah merasa kecil hati. Ia pun tidak pernah sekali pun memintanya. Ia baru memiliki HP setelah merasa bisa membelinya sendiri dari hasil jerih lelahnya.

“Apakah ia pernah menginginkan punya HP sendiri?” tanyaku pada si Kaka. “Setahuku, ia tidak pernah memintanya. Persis seperti kamu waktu dulu sekolah,” lanjutku. Si Kaka mulai mengangkat wajah dan berani menatap mataku. “Ayah, semua anak itu sama, ingin ini dan mau itu. Tapi, kami, aku dan kedua adikku, tidak mau merepotkan ayah dan ibu. Biarlah kami berkelahi dengan HP yang kumiliki, daripada membuat ayah dan ibu beban pikiran. Aku secara diam-diam menasihati mereka untuk tidak ikut-ikutan dengan anak-anak lain. Berteman saja sudah cukup. Jadi diri sendiri saja. Tidak perlu harus jadi orang lain,” katanya padaku dan ibunya.

“Pa, tadi di iklan ruang guru, mereka ada bilang gugel klas rum te,” kata ibu menyela anak sulungnya. “Sepertinya sama dengan yang dibilang Intan tadi. Katanya ada tugas di situ,” lanjut ibunya anak-anak. “Pasti Permata tahulah. Dia kan juga guru,” tandas ibunya. “Aku tahu, tapi sekolahku tidak melaksanakan pembelajaran online. Maklum, sekolah di kampung ni anak-anak belum punya HP,” jawab guru Permata tanpa ekspresi. Datar saja.

“Ya, Yah, Bu, Kak, kami belajar di webex. Kami bisa mendengarkan penjelasan guru. Kami pun bisa bertanya kalau tidak mengerti. Kami bisa juga melihat teman-teman meskipun dari rumah saja. Lucu sekali. Ada teman yang hanya pakai baju putih, tapi dengan celana umpan. Pas ia berdiri, kami lihat semua. Kami tertawa. Ramai sekali tadi,” Intan, si gadis kecil kami itu nyerocos tiada henti setelah dari meja makan. “Nah, terus…ibu guru bilang, kami harus menyelesaikan tugas yang ada di calassroom. Setiap mata pelajaran punya kelas masing-masing. Di sana kami bisa mengisi daftar hadir, membaca materi, mengerjakan tugas, dan mengikuti penilaian harian. Pokoknya seru sekali. Betul-betul merdeka. Aku baru merasakan belajar merdeka karena adanya corona ini,” jelasnya lugas.

“Jadi, selama ini kamu belum merdeka, ya?” tanyaku padanya. “Jelas dong, Yah. Selama ini saya merasa terjajah. Kami dipaksa kerja tugas, boleh cari di internet, tapi aku tak punya HP. Ayah pun terus memaksa agar aku selalu kerja tugas tepat waktu. Tidak boleh buat guru marah. Intinya saya terjajah lahir batin. Ternyata MERDEKA itu sederhana. Asal ada corona, HP android tiba di genggaman. Saya pun bisa atur waktu sendiri untuk belajar kapan saja dan di mana saja. Tidak perlu terkurung terus di kelas. Terima kasih, Ayah, Ibu. Terima kasih semuanya. Hmmm…benar-benar MERDEKA.”

Aku Cuma geleng-geleng. Ibunya manggut-manggut. Permata beranjak ke kamarnya. Intan? Ia masih meneruskan kegiatan belajarnya hingga hari menjelang petang. Ia sedang MERDEKA dalam belajar untuk mencapai tujuan belajar MERDEKA. Sejauh ini, aku tetap menaruh kepercayaan besar padanya. Ia tetap rajin belajar. Tambah rajin membantu mamanya di kamar belakang. Sesekali bisa mencuci pakaian. Lantai rumah selalu bersih. Setiap hari. Hasil belajar MERDEKA??

 

Akhir Agustus 2020

 

Minggu, 23 Agustus 2020

BLEBUK MERUK

 

Pukul 05.00 dentuman waning (gendang) dan gemerincing gong sudah berkumandang menyapa alam. Menyapa insan yang masih menikmati sisa-sisa mimpinya. Menyapa dunia yang kian kusut didera pandemic covid-19. Menyapa jagat raya yang berduka, yang hilang akal, yang hilang harapan berjuang melawan sang Mahkota ajaib.

Kesibukan di rumah Mo’at Bura tidak terelakkan lagi. Hiruk-pikuk di tengah kerumunan orang yang lagi berdandan merias pengantin perempuan juga menghias dirinya sendiri. Mo’at Bura akan menikahkan anak gadis semata wayangnya dengan pemuda kampung sebelah. Tidak ada lagi yang saling mendengarkan. Semua bersuara lantang tapi seolah suara itu bergaung di ruang privat. Tidak ada yang merespon. Tak ada tanggapan. Sibuk dan sangat sibuk menyiapkan segala sesuatu demi kesuksesan hajatan yang baru pertama diadakan di rumah itu.

Pukul 08.00 pengantin pria sudah tiba hendak menjemput belahan jiwa. Pengantin perempuan belum tampak batang hidungnya. Dia masih duduk manis di kursi, dalam kamar pengantinnya ditemani dua sosok manusia yang sedang meriasnya. Yang satu membenahi alis dan pipi. Yang lainnya merapikan rambut, lalu baju dan lain-lain tetek bengek yang tidak dimengerti. Sudah diberi biru, diganti pink, lalu ditukar merah cerah. Sudah disanggul, diganti konde, lalu ditukar jatuh lepas bebas tergerai. Hanya seputaran wajah yang menjadi fokus utama.

Pukul 09.00 pengantin pria tampak gelisah. Ia masih duduk mematung di kursi pendopo bersama segenap keluarga. Sesekali ia menengok jam dari smartphone miliknya. Gelisah. Tunduk. Tengadah. Lirik sepintas ke kiri kanan. Menoleh melihat ayahnya. Menatap ibunya. Ia galau karena jadual yang diberi pastor sudah terlampaui. Belum lagi prosesi perjalanan yang dibikin rumit. Lagi pula, ada tarian papak (tarian penjemputan) yang tengah menunggu di gerbang rumah Tuhan, yang pasti akan memakan waktu cukup lama.

Pukul 09.30 pengantin perempuan keluar dari kamar rias. Menuju pendopo. Menghadap mempelai pria. Menyuntingkan bunga dan menerima buket bunga. Bergandengan dan berjalan menuju mobil. Dayang-dayang kecil-kecil membantu memegang gaun yang hampir menyapu debu halaman rumah. Gadis kecil-kecil yang lainnya berjalan mundur di depan pengantin sembari menabur bunga rampai dan beras kuning. Konon katanya supaya kedua pengantin memberikan keturunan yang bisa mewarnai dunia. Keluarga makin mengerumuni pengantin. Masker digantung di dagu. Tempat cuci tangan tiada yang mampir, dibiarkan merana, sendirian.

Pukul 10.00 mobil pengantin bergerak meninggalkan halaman rumah pengantin wanita. Di depannya sebuah pick up lain lengkap dengan seperangkat gong waning (musik tradisonal Sikka) dan para penabuhnya juga berbusana adat Sikka komplit. Lipa prenggi (sarung khas Sikka), kemeja putih lengan panjang, ditambah aksesori sembar (selendang ala Sikka) tergantung diagonal dari baru menyampir ke pinggang, dan lensu (destar ala Sikka) di kepala. Mereka mengiringi pengantin dengan irama todu (cepat) membangkitkan semangat bagi semua rombongan teristimewa kedua pengantin. Iringan dibuat se-perlahan mungkin agar barisan parade tampak anggun.

Pukul 10.00 pastor paroki uring-uringan di depan pintu gereja. Rombongan penari papak terdiam membisu berjajar kiri kanan di pintu gerbang gereja. Mereka malu. Mereka marah. Mereka panik. Kata-kata sang Pastor terasa menyakitkan lebih sakit dari virus corona. “Kamu sibuk dengan hal-hal duniawi yang sebentar saja akan lenyap. Liturgi kamu tidak siapkan dengan baik. Koor tidak ada. Ajuda belum latihan. Lektor entah dimana. Bagaimana mungkin upacara ini bisa berlangsung hikmat dan sakral?” begitu kotbah yang disampaikan pastor di depan gereja.

Pukul 10.30 pengantin tiba di gereja. Musik gong waning makin membahana mengiringi kedua pengantin turun dari mobil. Akan tetapi, para penari masih berdiri terpaku di tempatnya. Tidak ada yang mulai menari. Pengantin dan keluarga sudah berbaris rapi di gerbang gereja dan seharusnya pada saat itu penari mulai beraksi. Lalu berangsur-angsur gong waning pun diam dengan sendirinya. Terdengar suara dari depan pintu gereja, “Pastikan semua yang mau mengikuti upacara ini pakai masker. Tanpa kecuali. Silakan cuci tangan pakai sabun di kran dekat pintu gerbang gereja. Usahakan jarak antara satu dengan yang lainnya, 1-2 meter. Setelah itu, ukur suhu tubuh pada petugas jaga. Terima kasih.”

Semua keluarga yang hadir tampak kaget. Raba hidung masing-masing. Raba mulut masing-masing. Raba telinga masing-masing. Ada yang membenahi maskernya. Ada yang lari cepat-cepat ke kios depan gereja. Ada yang tertunduk lesu. Tak terkecuali kedua pengantin. Rupanya mereka enggan memakai masker. Saling tatap. Lalu melirik ke tukang rias. Kemudian melihat ke arah pastor yang berdiri menatap tanpa berkedip dari depan. Matanya meminta dispensasi. Namun, pastor menggeleng. Mulutnya mohon dikecualikan. Tapi, pastor diam saja. Akhirnya masker pun terpaksa mampir di tempatnya. Lipstick tiada lagi. Pensil alis tak tampak lagi. Pemerah pipi hilang di balik masker. Senyum manis lenyap bersama iringan organis dari dalam gereja pertanda misa segera dimulai.

Pukul 12.00 misa usai. Tak ada salaman. Tak ada jabat tangan, apalagi foto-foto dan selfie. Semua keluarga meninggalkan gereja dengan wajah sendu. Pulang ke rumah tanpa iringan musik.

Pukul 12.30 pengantin tiba di rumah. Gong waning kembali berkumandang. Kerumunan tak terelakan lagi. Semua bersuka cita. Menari dan bertangis-tangisan bahagia. Semua berpesta pora (blebuk meruk) dengan melupakan protokoler kesehatan.

Pukul 08.00 minggu berikutnya. Tiga puluh tiga orang rapid tes reaktif. Dijemput tim satgas covid. Karantina selama 2 minggu.

 

COVID-19 AND PARTY

 

At 05.00 the sound of waning (drums) and the clatter of gongs were already echoing to greet nature. Greet people who are still enjoying the remnants of their dreams. Greeting a world that is increasingly tangled up, hit by the Covid-19 pandemic. Greet the sorrowful universe, the lost of mind, who have lost hope of fighting against the magic Crown.


The busyness at Mo'at Bura's house was inevitable. The hustle and bustle in the middle of a crowd of people who are dressed up to make up their brides are also decorating themselves. Mo'at Bura will marry off his only puppet girl to the youth of the next village. Nobody listens to each other anymore. Everyone sounded loud but as if the voice resonated in a private room. No one responded. No response. Busy and very busy preparing everything for the success of the first celebration held at the house.

At 08.00 the groom arrived and was about to pick up his soul mate. The bride has not seen her nose. She is still sitting pretty in a chair, in her bridal room accompanied by two human figures who are doing her makeup. One fixes his eyebrows and cheeks. Others tidy their hair, then clothes and other things that are not understood. It has been given blue, replaced with pink, then exchanged for bright red. It has been tied up, replaced with bun, then exchanged for free fall and fall. Only around the face is the main focus.

At 09.00 the groom looked nervous. He is still sitting in the pendopo chair with his whole family. Every now and then he looked at the clock from his smartphone. Restless. Get down. Look up. Lyrics glance left right. Turned to see his father. Staring at his mother. He was upset because the schedule given by the pastor had already been exceeded. Not to mention the complicated travel procession. After all, there is a papak (pick-up dance) dance waiting at the gate of God's house, which is sure to take a while.

At 09.30 the bride came out of the dressing room. Towards the pavilion. Facing the groom. Editing flowers and receiving a bouquet of flowers. Hold hands and walk towards the car. Little maids helped hold the dress that almost brushed the dust of the house yard. Other little girls walked back and forth in front of the bride and groom while sowing potpourri and yellow rice. It is said that he said that the bride and groom would give offspring who could color the world. The family is increasingly crowding the bride and groom. The mask hangs on the chin. The sink did not stop by, left languishing, alone.

At 10.00 the bridal car moves to leave the bride's home page. In front of it is another pick-up complete with a set of gong waning (traditional Sikka music) and the musicians are also dressed in complete Sikka custom. Lipa prenggi (a typical Sikka sarong), a long-sleeved white shirt, plus a random accessory (a Sikka shawl) hanging diagonally from just over the waist, and a lensu (a Sikka-style headband) on the head. They accompanied the bride and groom with the rhythm of todu (fast) to inspire the whole group, especially the bride and groom. The accompaniment was made as slowly as possible so that the parade rows looked elegant.

At 10:00 am the parish priest crumpled at the door of the church. The group of papak dancers was silent in silence, lined up left and right at the church gate. They are embarrassed. They are angry. They panicked. The Pastor's words hurt more than the coronavirus. “You are busy with worldly things that will soon disappear. Your liturgy is not well prepared. No choir. Ajuda hasn't practiced yet. Lektor somewhere. How could this ceremony be wise and sacred? " that was the sermon the pastor gave in front of the church.

At 10.30 the bride and groom arrived at the church. The music of Gong Waning grew blaring as the bride and groom got out of the car. However, the dancers still stood rooted in their place. Nobody started dancing. The bride and groom and their families are lined up neatly at the church gate and it should be at that time that the dancers should start to act. Then gradually Gong Waning quieted itself. A voice was heard from the front door of the church, “Make sure everyone who wants to join this ceremony wear masks. Without exception. Please wash your hands with soap on the faucet near the church gate. Try to keep a distance from one another, 1-2 meters. After that, measure the body temperature of the duty officer. Thank you."

All the families present looked shocked. Feel each other's noses. Feel each other's mouth. Feel each other's ears. There are those who fix their masks. Some ran quickly to the stall in front of the church. Some were looking down. The bride and groom are no exception. Apparently they were reluctant to wear masks. Look at each other. Then glanced at the makeup artist. Then look at the priest who is standing staring unblinkingly from the front. His eyes asked for dispensation. However, the priest shook his head. Mouth please exclude. However, the pastor said nothing. Finally, the masks were forced to stop at their place. Lipstick is gone. The eyebrow pencil disappeared. The rouge disappeared under the mask. The sweet smile disappeared along with the organic accompaniment from inside the church as a sign that the mass was about to begin.

At 12.00 the mass was over. There is no shake. No handshakes, not to mention photos and selfies. All families leave the church with sad faces. Come home without music.

12.30 the bride and groom arrived home Gong Waning reverberated. The crowd was inevitable. All rejoice. Dancing and crying happily. Everyone is partying hard (blebuk meruk) by forgetting health protocols.

8:00 am the following week. Thirty three people rapid reactive test. The covid task force team picked up. Quarantine for 2 weeks.

Sabtu, 22 Agustus 2020

BENDERA (cerpen)

 

“Moat…tolong ambilkan bendera di lemari bambu sebelah tempatmu tidur,” teriak Om Mitan dari halaman depan rumah berdinding pelupu itu. Sebenarnya lebih tepat disebut kotak ketimbang lemari. Bentuknya menyerupai keler yang biasa digunakan para pedagang kaki lima di pasar desa dekat rumahnya. Tapi, biar kedengarannya agak mentereng, apalagi tempat penyimpanan bendera merah putih lambang kebanggaan dan gengsi sebuah Negara yang bergelar “merdeka”, ya disebutlah lemari.

Sejurus dari dalam rumah ‘yang sebenarnya lebih pas dibilang gubuk’ muncullah pria separuh baya belasan tahun mendekati Om Mitan. “Ini benderanya, Ayah,” lalu menyerahkan benda keramat itu ke haribaan Om Mitan yang tengah duduk mengecat tiang bendera yang akan digunakan untuk mengibarkan ‘merah putih’.  “Ayah, ada sobek sedikit. Oh, bukan sobek, Ayah, cuma terlepas benangnya pada bekas sambungan antara merah dan putih,” kata Moat seraya menunjuk-nunjuk bagian yang sobek tersebut. Baca lagi? Silakan KLIK DI SINI !

JUBIR CORONA INDONESIA

 Justifikasimu menghancurkan

Undurkan aku ke zona zero

Baang  kau pasang di seantero

Iaido pun keok olehmu

Rabaklah rajutan erat yang pernah ada

                   

Cara marahmu santun beretika

Obar obrolanmu santungkan aku ke jejak mati

Rasanku yang berkoloni kau beraikan

Oasis yang dulu jadi karibku kau rampas

Naam, jagatku kau jadikan arena kengerian

A fortiori mabal aku ke jurang maut

 

Intan 75-ku, kuingat tanpa raya

Nestapa kian kau saji

Derita makin kau patri

Odeku kau ganti

Negeriku kau porandakan

Erangan lirih rusakkan setikku

Saba saja kau ambil

Intai gerakku tiap sekon

Agar aku tak lagi MERDEKA ?

TANPA BABIBU

 

Merah Putihku cabak

Tatkala seekor cabak menyosor di ujung pancung

Merah Putiku cabar

Tatkala ku cabar menjaga kesatuan

Merah Putihku suwir-suwir

Hawa daba mahkotamu mencecar

Berdebak-debuk kian gusar

Tanpa babibu

Kau  hancurkan segala

Jumat, 21 Agustus 2020

TIANG BENDERA

 

“Om Guru punya tiang bendera sudah tua sekali. Itu, cat putihnya sudah terkelupas,” kata Aldo.

Pria kecil, kelas 6 sekolah dasar , anak tetangga rumahku, yang hampir tiap hari bermain dengan anakku. Dia dan anakku juga beberapa anak yang lain menjadi tim yang bergerak sangat cepat dalam hal bermain. Kalau tidak berkejar-kejaran, mereka pasti bermain petak umpet. Suasana selalu riuh. Mereka selalu bersemangat, berkeringat, mengalir di badannya yang hitam, bercampur dengan debu tanah yang kian melimpah pada saat-saat kemarau begini. Kadang mereka mandi-mandi di laut. Biasalah, rumah dekat bibir pantai. Tiada hari tanpa berendam di sana. Pakaian ganti dalam sehari bisa sampai tiga potong bahkan lebih. Para ibu di kampung kecil kami sepertinya sudah kewalahan menghadapi pakaian kotor bertumpuk di bak mandinya masing-masing. Selanjutnya Klik di sini

MERDEKAKU, MERDEKA KAMI

 

Rinduku berlaksa

hanya sekedar bersenda

Kau hadang aku di ujung sunyi

Cintaku membuncah

cuma niatkan gurau

Kau bahkan murka

Sangar tatapmu

menghujam rasaku

Tajam belatimu

merobek asaku

 

Kau datang berjibaku menyerang segala rupa, tak indahkan hari-hariku yang penuh asa tertata

Enak nian menyerempet menggoreskan luka menghadirkan duka, mengobarkan lara

 

Kau tak tahu kalau aku tak takut

Kau pun rupanya tak mengerti bahwa aku bisa lebih kejam berjuta

 

Aku kini telah tahu

Aku kini telah tahu

Aku kini telah tahu

Kau hanya menyebar aroma ketakutan semu

 

Aku harus mampuskan kau agar aku dan kami bisa sekedar bersenda gurau

Lahirkan tawa di tengah pekik MERDEKA

Tularkan spirit MERDEKAKU, MERDEKA KAMI

MERDEKA

 

Maunya

Enak

Rasanya

Derita,

Erangan,

Koar-koar,

Akankah merdeka?

Kamis, 06 Agustus 2020

TOKEN LATIHAN SOAL PENILAIAN HARIAN I

Bapak dan Ibu Guru Bahasa Indonesia, berikut ini disajikan penilaian harian online yang mungkin dapat dijadikan latihan bagi anak-anak kita. Tes ini berkaitan dengan materi Teks Laporan Percobaan. Jika berminat, silakan lengkapi biodata berupa nama lengkap, kelas, tanggal, dan ACE123 Terima kasih.

Selasa, 04 Agustus 2020

GURU 3

Hari ini aku mau kau tau
tentang aku juga tentangmu
Kita akan telusuri liku-lika hidupmu
dari titik nol hingga titik kulminasi
Akan ku ajak kau bersajak
tentang sejenak lelahmu lelahku
tentang perhentian yang tidak kau dambakan
Akan ku antar kau di pelataran
tuk sesaat mencermati
tentang remah-remah tapak tersisa
tentang tapak-tapak yang tak berbekas lagi
Mari kita ke sana
melihat masa depan
menengok masa lalu
Masalahmu kan berakhir

Minggu, 02 Agustus 2020

SAATNYA AYAH MENCUKUPI GIZI ANAK

Hai, para Ayah. Selamat bertemu dan selamat berjuang dalam memelihara kehidupan. Sebagai rekan se-status, saya ingin membagikan sebuah artikel yang saya tulis dalam rangka mengikuti "Lomba Penulisan Esay pada HUT Kesehatan Nasional tahun 2012 yang lalu. Tidak terlalu istimewa tulisan ini karena hanya meraih predikat Juara II. Akan tetapi, tidak ada salahnya kita berbagi info. Selengkapnya Silakan klik di sini !

Sabtu, 01 Agustus 2020

LARA DI TENGAH COVID-19 (Cerpen)

“Aku ini seperti anak pinjaman sehingga semua fasilitas yang kupakai adalah pinjaman,”gadis kecilku berteriak dan menjerit-jerit di depan mamanya sembari menangis tersedu. Aku terperangah.
Aku begitu kaget mendengarkan dia. Rasanya sakit menghujam jantungku. Darahku mendidih ingin marah. Tapi hatiku berkata lain. Baiklah aku simak apa ujung perdebatannya dengan si Ema. “Aku tidak mau pakai HP ini lagi. Kembalikan saja. Biarlah aku tak sekolah. Untuk apa? Tidak ada gunanya. Toh semuanya barang pinjaman. Apakah aku ini anak yang kalian pilih di jalan?” rentetan kata-katanya tak terbendung bagaikan anak senjata lepas dari kokangnya. “Dengarkan dulu, Nak!”si Ema coba menenangkan. Gadis kecilku terus saja menangis, tak mau dibujuk.