Dalam bahasa daerah Sikka-Krowe, Nau Noan sama artinya dengan dongeng. Sesuai dengan isinya, nau noan mempunyai banyak jenis seperti fabel, legenda, mitos, dan sage. Salah satu jenis nau noan yang populer di daerah Sikka-Krowe adalah fabel. Nau noan berjenis fabel mengandung nilai budaya yang patut dikaji lebih dalam. Cerita nau noan jenis fabel mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi religi, bahasa, kesenian, mata pencaharian, teknologi dan peralatan, organisasi kemasyarakatan, dan ilmu pengetahuan. Berhubung kekayaan budaya dalam nau noan sangat komplit perlu dikembangkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia untuk penanaman karakter anak didik sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013 pada KI-1 (sikap religius) dan KI-2 (sikap sosial) untuk mendukung pencapaian KI-3 (pengetahuan) dan KI-4 (keterampilan). Langkah-langkah pembelajaran yang ditempuh adalah tahap observasi, identifikasi, mempresentasikan hasil identifikasi, melakukan aksi nyata, dan tahap refleksi.
Kata
kunci: Nau Noan, Nilai Budaya,
Pendidikan Karakter
A.
Pendahuluan
Gejala
yang tampak sekarang ini menunjukkan semakin banyak
perilaku yang memperlihatkan terkikisnya nilai-nilai luhur yang seharusnya dipertahankan pada tataran masyarakat
maupun pemerintahan, seperti yang terjadi pada kegiatan pendidikan, misalnya
kegiatan mencontek massal, memalak adik kelas bahkan sampai terjadinya perkelahian
antarsekolah. Situasi ini mengkhawatirkan berbagai pihak karena sebagai generasi
penerus bangsa, seharusnya para anak didik ini haruslah memiliki nilai-nilai luhur
yang nantinya akan menjadi bekal untuk kehidupan
yang lebih baik di masa depan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
kegiatan pendidikan yang berlangsung akhir-akhir ini
lebih menekankan untuk mengejar dan menghimpun informasi pengetahuan dan keilmuan
sebanyak-banyaknya namun tanpa dibarengi dengan landasan nilai-nilai karakter yang
positif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Barten (2000) bahwa pendidikan yang bersifat sehat itu
adalah pendidikan yang secara sadar bisa membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan
menghargai jenjang makna hidup dari yang sifatnya fisikal sampai yang estetikal, moral, dan
spiritual.
Memudarnya karakter anak bangsa bukan akibat tanpa
adanya sebab. Banyak sebab yang melahirkan kemerosotan budaya tersebut, antara
lain model pembelajaran yang diterapkan guru selama ini tidak menantang anak didik untuk berpikir.
Pembelajaran yang konvensional dengan fokus pada ceramah, merupakan salah satu
sebab menurunnya karakter anak didik. Anak didik tidak dilatih dan dibiasakan
untuk menganalisis masalah yang sedang terjadi, bahkan sebaliknya dituntut
memahami berbagai macam konsep yang dilahirkan oleh para ahli.
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, hal yang
konvensional ini masih banyak dilakukan. Padahal, di sekitar kehidupan anak
didik ada begitu banyak kearifan lokal yang dapat digunakan untuk membantu anak
didik menerapkan konsep dalam praktik pembelajaran keterampilan membaca,
menulis, mendengarkan, dan berbicara. Menurut Sudjana dan Rivai (2002: 208)
manfaat atau keuntungan yang diperoleh
dari kegiatan mempelajari lingkungan dalam proses belajar mengajar: (1)
kegiatan belajar lebih menarik, tidak membosankan, dan dapat memotivasi belajar
siswa; (2) hakikat belajar menjadi lebih bermakna; (3) bahan-bahan lebih kaya
dan lebih faktual; (4) kegiatan belajar lebih komprehensif dan lebih aktif; (5)
sumber belajar lebih kaya; (6) siswa dapat memahami dan menghayati aspek-aspek
kehidupan yang ada di lingkungannya sehingga dapat membentuk pribadi yang tidak
asing dengan kehidupan di sekitarnya, serta dapat memupuk cinta lingkungan.
Wujud nyata penerapan kearifan lokal dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah
dongeng yang dalam bahasa Sikka disebut Nau
Noan.
B.
Tinjauan Nilai Budaya dalam Nau
Noan Jenis Fabel
Dalam
konteks pembelajaran Bahasa Indonesia untuk SMP, kearifan budaya lokal seperti
dongeng dinilai masih efektif untuk menumbuhkan karakter demi ketahanan budaya
nasional. Dongeng dalam Bahasa Sikka dikenal dengan sebutan ‘nau noan’. Nau noan biasa dituturkan oleh orang tua
tatkala malam menjelang tidur. Pada zaman dahulu, dongeng yang disampaikan
menjelang tidur sangat efektif untuk pembentukan karakter karena tokoh-tokoh
seperti binatang (fabel) yang
ditampilkan dalam cerita dongeng selaras dengan perilaku hidup anak-anak setiap
hari.
Dalam
cerita ‘nau noan’ terkandung
unsur-unsur budaya yang berlaku secara
universal. Menurut Keontjaraningrat dalam Liliweri (2014:16) unsur-unsur
kebudayaan itu meliputi sistem religi, organisasi kemasyarakatan, pengetahuan,
bahasa, kesenian, mata pencaharian, teknologi dan peralatan. Semisal dalam
dongeng berjenis fabel ‘Ahu nora Meong’ (Anjing dan Kucing)
terkandung hampir semua unsur kebudayaan tersebut. Dikisahkan bahwa pada
mulanya anjing dan kucing bersahabat
baik. Mereka berkebun dan berladang
bersama-sama (sistem pertanian dan mata pencaharian). Mereka menggunakan tofa
dan cangkul untuk mengolah tanah (sistem teknologi dan peralatan). Mereka
bernyanyi sambil bekerja (sistem kesenian dan bahasa). Setelah bekerja, kucing
membagi tugas; anjing memasak dan kucing mencari ikan di laut ; kebetulan kebun
dekat laut (sistem organisasi kemasyarakatan). Namun, setelah semuanya masak,
kucing membawa lari semua hidangan ke atas pohon sehingga anjing tidak dapat
mencicipinya. Kucing menghabiskan masakan itu sendiri (unsur pengetahuan; nilai
moral). Karena persoalan seperti itu, akhirnya kucing dan anjing selalu
bermusuhan hingga saat ini.
Dari
cerita tersebut dapat diketahui bahwa
nilai-nilai budaya yang terkandung dalam sebuah dongeng (nau noan) sangat komplit dan dapat mendukung penanaman nilai-nilai
karakter atau pembentukan moral anak didik. Guru sebagai pendidik harus mampu membuat peserta didik
memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan. Hal
ini seirama dengan pendapat Lickona (1992:53) bahwa ada tiga komponen karakter yang baik
yang perlu ditekankan dan diintegrasikan dalam proses pembelajaran yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Dalam konteks nau noan ‘Ahu nora Meong’ , pengetahuan tentang moral yakni bahwa kerja sama
yang dilakukan bersama dalam suatu kelompok, hasilnya harus dapat dinikmati
oleh semua anggota kelompok, bahkan dapat dibagikan untuk orang lain. Perasaan
tentang moral menyangkut nilai rasa ketika memanfaatkan hasil kerja kelompok,
perlu ditumbuhkan rasa malu dan rasa berdosa jika kita sudah berbuat curang.
Perbuatan yang bermoral dalam konteks nau
noan ‘Ahu nora Meong’, semestinya “Tikus”
yang harus menghidangkan makanan tersebut, lalu mengajak “Kucing” untuk makan bersama-sama.
Berdasarkan kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
bahasa Indonesia sangat erat kaitannya dengan pendidikan karakter, sesuai
dengan ungkapan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian seseorang, yang berarti
bahwa baik buruknya bahasa yang digunakan seseorang pada dasarnya adalah cermin
kepribadian orang tersebut. Oleh sebab itu, anak didik perlu dilatih
menggunakan keterampilan berbahasa yang dimilikinya dalam konteks mengandung
nilai karakter yang positif. Pendidikan karakter diharapkan mampu membina
peserta didik untuk dapat berbahasa yang baik sesuai dengan nilai-nilai luhur
budaya bangsa dan itu semua dapat diperoleh dari nau noan atau dongeng.
Dalam Kurikulum 2013 diuraikan bahwa capaian
pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut
ke keterampilan, dan bermuara pada sikap (spiritual dan sosial). Melalui
Kompetensi Inti, tiap mata pelajaran ditekankan bukan hanya memuat pengetahuan
saja, tetapi juga proses yang berguna bagi pembentukan keterampilannya dan
memuat pesan tentang pentingnya memahami mata pelajaran tersebut sebagai bagian
dari pembentukan sikap (Kemendikbud 2013: 3). Pembentukan sikap penting
diperhatikan karena akan terus melekat dan dibutuhkan siswa dalam kehidupannya.
Oleh karena itu, pendidik dalam mengajarkan mata pelajaran harus mengandung
pesan-pesan sosial dan spiritual, baik dalam proses maupun materinya.Dijelaskan
pula bahwa kompetensi dasar yang berkenaan dengan sikap spiritual dan
individual-sosial dikembangkan secara tidak langsung (indirect teaching)
yaitu pada waktu siswa belajar tentang pengetahuan (mendukung KI-3) dan
keterampilan (mendukung KI-4). Dengan demikian, muara akhir pendidikan adalah
pembentukan karakter. Pembelajaran peserta didik tidak hanya dituntut agar
cerdas dalam kemampuan bidang intelektual (IQ) saja, tetapi jugakecerdasan
emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual. Hal ini sesuai dengan pendapat Tilaar
(2009: 28) bahwa manusia Indonesia yang cerdas adalah manusia yang penuh
toleransi dan mengakui akan adanya perbedaan dalam suku-suku bangsa yang
berjenis-jenis. Demikian pula dikemukakan bahwa mengukur kemampuan seseorang
jika hanya diukur dari kecerdasan IQ terlalu sederhana. Mengacu pada uraian
tersebut, telah dilakukan pengujian untuk membuktikan bahwa model pembelajaran
menulis berbasis kearifan budaya lokal yang berorientasi penanaman nilai-nilai
karakter lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan menulis, memberikan banyak inspirasi
bahan tulisan, dan mengubah karakter peserta didik.
C.
Implementasi Nau Noan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Model pembelajaran yang dikembangkan ini
lebih banyak menuntut keaktifan dan kreativitas siswa, guru hanya sebagai
fasilitator, inovator, inisiator, dan kreator. Sebagai fasilitator, guru
menentukan bahan pembelajaran berupa nau
noan yang mengandung nilai karakter yang dapat dijadikan sebagai sarana
pembelajaran untuk memudahkan siswa mendapatkan inspirasi untuk menulis,
membaca, berbicara, ataupun menyimak. Guru sebagai inovator dituntut
untuk menciptakan suatu metode pembelajaran yang up to date, serta memberikan
pengalaman belajar yang mengesankan di hati siswa. Guru sebagai inisiator bertugas
untuk memunculkan gagasan-gagasan kreatif dalam menciptakan pembelajaran yang
dapat meningkatkan motivasi, minat, dan kreativitas siswa. Adapun guru sebagai kreator,
harus memiliki daya kreativitas untuk memberikan sesuatu yang baru bagi
siswanya sehingga berkesan dalam kehidupannya. Dengan demikian proses
pembelajaran yang diciptakanmenjadi pengalaman berguna yang dapat diterapkan
dalam kehidupansiswa. Pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan kearifan budaya
lokal dalam hal ini nau noan terdiri atas lima tahap. Tahapan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Tahap Orientasi
Pada tahap ini guru menyampaikan kompetensi dasar daan
tujuan pembelajaran yang akan dipelajari. Guru pun menceritakan nau noan yang sesuai dengan karakter kompetensi dan
karakter yang akan ditanamkan kepada siswa. Selanjutnya siswa dikondisikan
secara berkelompok untuk mencermati cerita dan menanggapi isi cerita.
2. Tahap Mengidentifikasi
Pada tahap ini siswa mengidentifikasi nilai-nilai moral yang
terkandung dalam cerita yang didengar. Kegiatan ini merupakan langkah penanaman
nilai-nilai karakter dalam bentuk cara bekerja sama, menghargai pendapat orang
lain, membiasakan membaca, dan menemukan sesuatu dari tulisan (inkuiri). Pada
tahap ini pun siswa merumuskan temuan hasil identifikasi melalui diskusi
kelompok. Dalam kegiatan ini siswa belajar untuk berpikir kreatif cara menyusun
kembali kalimat dengan bahasanya sendiri. Penanaman nilai karakter yang
diterapkan adalah belajar berpikir kreatif, berbagi peran, dan bekerja sama.
3. Tahap Mempresentasikan Hasil
Identifikasi
Pada tahap ini, salah
seorang siswa (perwakilan kelompok) menyajikan hasil temuannya di depan kelas.
Penanaman nilai karakter pada tahapan ini adalah mendidik agar memiliki rasa
toleransi, menghargai teman, bersikap demokratis, bertanggung jawab, dan
percaya diri.
4. Tahap Melakukan Aksi Nyata
Pada tahap ini guru membimbing siswa sesuai dengan
kompetensi dan keterampilan berbahasa yang dituntut dalam kurikulum .
a.
Jika
keterampilan menulis yang dituntut, siswa dibimbing untuk menulis kembali nau noan yang didengar sesuai dengan
kaidah yang berlaku. Aspek ejaan, tanda baca, huruf kapital, kalimat efektif,
paragraf, harus menjadi fokus perhatian dalam penilaian terhadap hasil kerja
siswa.
b.
Jika
keterampilan berbicara yang dituntut, siswa diminta menceritakan kembali nau noan yang didengar dengan kata-kata
sendiri. Media gambar/alat peraga bisa dipakai untuk membantu siswa memproduk
kosa kata saat berbicara dan untuk menghindari rasa gugup. Aspek kelancaran
berbicara, intonasi, pelafalan, ekspresi (gesture) perlu menjadi fokus dalam
penilaian guru terhadap penampilan siswa.
c.
Jika
keterampilan membaca yang dituntut, siswa diminta membaca dongeng lain dari
buku pelajaran lalu mengerjakan soal yang berhubungan dengan unsur intrinsik
dan yang lebih penting adalah mengaitkan isi dongeng dengan realitas yang ada
di kehidupan nyata.
d.
Jika
yang dilatih keterampilan menyimak, siswa diminta menanggapi isi nau noan dalam kaitannya dengan karakter
yang ingin ditanamkan dalam pembelajaran yang sedang berlangsung.
5. Tahap Merefleksi
Tahap merefleksi merupakan tahapan guru menjelaskan atau
membahas kelemahan dan kesalahan yang dilakukan siswa. Di sini guru selalu
memotivasi siswa agar berani memberikan kritik atau saran terhadap
kesalahan/kelemahan materi yang sedang dibahas. Selain itu, siswa diberi
kesempatan untuk menyampaikan kesan dengan menggunakan bahasa yang baik dan
benar terhadap pembelajaran yang baru berlangsung. Guru memberi penguatan atau
penghargaan kepada siswa. Yang terpenting dilakukan pada tahap ini adalah
menunjukkan kesalahan yang sering dilakukan siswa dalam pembelajaran dan bagaimana solusinya. Penanaman nilai-nilai
karakter pada tahap ini meliputi keberanian, percaya diri, jujur, bertanggung
jawab, dan saling menghargai.
D.
Penutup
Untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia
dibutuhkan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa sehingga
dapat memotivasi dan menumbuhkan minat siswa. Pengintegrasian kearifan budaya
lokal dalam hal ini nau noan dapat dijadikan salah satu solusi untuk
mengatasi kesulitan siswa mendapatkan ide/gagasan. Selain itu, pengintegrasian
kearifan budaya lokal ini merupakan strategi yang tepat untuk menanamkan
nilai-nilai karakter sebagaimana tuntutan Sisdiknas dan Kurikulum 2013.
Nilai-nilai dalam kearifan budaya lokal (nau
noan) selain dapat membantu siswa untuk mendapatkan inspirasi, juga dapat
membantu guru untuk menumbuhkan sikap spiritual dan sikap sosial pada siswa.
Dengan demikian model pembelajaran ini
tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga untuk
menumbuhkan sikap/karakter positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar