Kamis, 03 September 2020

TINJAUAN NILAI BUDAYA DALAM CERITA ‘NAU NOAN’ DAN PEMANFAATANNYA DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER

 




Dalam bahasa daerah Sikka-Krowe, Nau Noan sama artinya dengan dongeng. Sesuai dengan isinya, nau noan  mempunyai banyak jenis seperti fabel, legenda, mitos, dan sage. Salah satu jenis nau noan  yang  populer di daerah Sikka-Krowe adalah fabel. Nau noan  berjenis fabel mengandung nilai budaya yang patut dikaji lebih dalam. Cerita nau noan jenis fabel mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi religi, bahasa, kesenian, mata pencaharian, teknologi dan peralatan, organisasi kemasyarakatan, dan ilmu pengetahuan. Berhubung kekayaan budaya dalam nau noan   sangat komplit perlu dikembangkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia untuk penanaman karakter anak didik sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013 pada KI-1 (sikap religius) dan KI-2 (sikap sosial) untuk mendukung pencapaian KI-3 (pengetahuan) dan KI-4 (keterampilan). Langkah-langkah pembelajaran yang ditempuh adalah tahap observasi, identifikasi, mempresentasikan hasil identifikasi, melakukan aksi nyata, dan tahap refleksi.

Kata kunci: Nau Noan, Nilai Budaya, Pendidikan Karakter

A.       Pendahuluan

 

Gejala yang tampak  sekarang ini menunjukkan semakin banyak perilaku yang memperlihatkan terkikisnya nilai-nilai luhur yang seharusnya dipertahankan pada tataran masyarakat maupun pemerintahan, seperti yang terjadi pada kegiatan pendidikan, misalnya kegiatan mencontek massal, memalak adik kelas bahkan sampai terjadinya perkelahian antarsekolah. Situasi ini mengkhawatirkan berbagai pihak karena sebagai generasi penerus bangsa, seharusnya para anak didik ini haruslah memiliki nilai-nilai luhur yang nantinya akan menjadi bekal  untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan pendidikan yang berlangsung akhir-akhir ini lebih menekankan untuk mengejar dan menghimpun informasi pengetahuan dan keilmuan sebanyak-banyaknya namun tanpa dibarengi dengan landasan nilai-nilai karakter yang positif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Barten (2000) bahwa pendidikan yang bersifat sehat itu adalah pendidikan yang secara sadar bisa membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang sifatnya fisikal sampai yang estetikal, moral, dan spiritual.

Memudarnya karakter anak bangsa bukan akibat tanpa adanya sebab. Banyak sebab yang melahirkan kemerosotan budaya tersebut, antara lain model pembelajaran yang diterapkan guru selama ini  tidak menantang anak didik untuk berpikir. Pembelajaran yang konvensional dengan fokus pada ceramah, merupakan salah satu sebab menurunnya karakter anak didik. Anak didik tidak dilatih dan dibiasakan untuk menganalisis masalah yang sedang terjadi, bahkan sebaliknya dituntut memahami berbagai macam konsep yang dilahirkan oleh para ahli.

Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, hal yang konvensional ini masih banyak dilakukan. Padahal, di sekitar kehidupan anak didik ada begitu banyak kearifan lokal yang dapat digunakan untuk membantu anak didik menerapkan konsep dalam praktik pembelajaran keterampilan membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara.  Menurut Sudjana dan Rivai (2002: 208) manfaat atau keuntungan  yang diperoleh dari kegiatan mempelajari lingkungan dalam proses belajar mengajar: (1) kegiatan belajar lebih menarik, tidak membosankan, dan dapat memotivasi belajar siswa; (2) hakikat belajar menjadi lebih bermakna; (3) bahan-bahan lebih kaya dan lebih faktual; (4) kegiatan belajar lebih komprehensif dan lebih aktif; (5) sumber belajar lebih kaya; (6) siswa dapat memahami dan menghayati aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya sehingga dapat membentuk pribadi yang tidak asing dengan kehidupan di sekitarnya, serta dapat memupuk cinta lingkungan. Wujud nyata penerapan kearifan lokal dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah dongeng yang dalam bahasa Sikka disebut Nau Noan.

B.        Tinjauan Nilai Budaya dalam Nau Noan Jenis Fabel

 

Dalam konteks pembelajaran Bahasa Indonesia untuk SMP, kearifan budaya lokal seperti dongeng dinilai masih efektif untuk menumbuhkan karakter demi ketahanan budaya nasional. Dongeng dalam Bahasa Sikka dikenal dengan sebutan ‘nau noan’. Nau noan biasa dituturkan oleh orang tua tatkala malam menjelang tidur. Pada zaman dahulu, dongeng yang disampaikan menjelang tidur sangat efektif untuk pembentukan karakter karena tokoh-tokoh seperti binatang (fabel)  yang ditampilkan dalam cerita dongeng selaras dengan perilaku hidup anak-anak setiap hari.

Dalam cerita ‘nau noan’ terkandung unsur-unsur  budaya yang berlaku secara universal. Menurut Keontjaraningrat dalam Liliweri (2014:16) unsur-unsur kebudayaan itu meliputi sistem religi, organisasi kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian, teknologi dan peralatan. Semisal dalam dongeng berjenis fabel  Ahu nora Meong’ (Anjing dan Kucing) terkandung hampir semua unsur kebudayaan tersebut. Dikisahkan bahwa pada mulanya anjing  dan kucing bersahabat baik. Mereka  berkebun dan berladang bersama-sama (sistem pertanian dan mata pencaharian). Mereka menggunakan tofa dan cangkul untuk mengolah tanah (sistem teknologi dan peralatan). Mereka bernyanyi sambil bekerja (sistem kesenian dan bahasa). Setelah bekerja, kucing membagi tugas; anjing memasak dan kucing mencari ikan di laut ; kebetulan kebun dekat laut (sistem organisasi kemasyarakatan). Namun, setelah semuanya masak, kucing membawa lari semua hidangan ke atas pohon sehingga anjing tidak dapat mencicipinya. Kucing menghabiskan masakan itu sendiri (unsur pengetahuan; nilai moral). Karena persoalan seperti itu, akhirnya kucing dan anjing selalu bermusuhan hingga saat ini.

Dari cerita  tersebut dapat diketahui bahwa nilai-nilai budaya yang terkandung dalam sebuah dongeng (nau noan) sangat komplit dan dapat mendukung penanaman nilai-nilai karakter atau pembentukan moral anak didik. Guru sebagai pendidik harus mampu membuat peserta didik memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan. Hal ini seirama dengan pendapat   Lickona (1992:53) bahwa ada tiga komponen karakter yang baik yang perlu ditekankan dan diintegrasikan dalam proses pembelajaran yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Dalam konteks nau noanAhu nora Meong’ , pengetahuan tentang moral yakni bahwa kerja sama yang dilakukan bersama dalam suatu kelompok, hasilnya harus dapat dinikmati oleh semua anggota kelompok, bahkan dapat dibagikan untuk orang lain. Perasaan tentang moral menyangkut nilai rasa ketika memanfaatkan hasil kerja kelompok, perlu ditumbuhkan rasa malu dan rasa berdosa jika kita sudah berbuat curang. Perbuatan yang bermoral dalam konteks nau noan ‘Ahu nora Meong’, semestinya “Tikus” yang harus menghidangkan makanan tersebut, lalu mengajak “Kucing” untuk makan bersama-sama.

Berdasarkan kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia sangat erat kaitannya dengan pendidikan karakter, sesuai dengan ungkapan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian seseorang, yang berarti bahwa baik buruknya bahasa yang digunakan seseorang pada dasarnya adalah cermin kepribadian orang tersebut. Oleh sebab itu, anak didik perlu dilatih menggunakan keterampilan berbahasa yang dimilikinya dalam konteks mengandung nilai karakter yang positif. Pendidikan karakter diharapkan mampu membina peserta didik untuk dapat berbahasa yang baik sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan itu semua dapat diperoleh dari nau noan  atau dongeng.

Dalam Kurikulum 2013 diuraikan bahwa capaian pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada sikap (spiritual dan sosial). Melalui Kompetensi Inti, tiap mata pelajaran ditekankan bukan hanya memuat pengetahuan saja, tetapi juga proses yang berguna bagi pembentukan keterampilannya dan memuat pesan tentang pentingnya memahami mata pelajaran tersebut sebagai bagian dari pembentukan sikap (Kemendikbud 2013: 3). Pembentukan sikap penting diperhatikan karena akan terus melekat dan dibutuhkan siswa dalam kehidupannya. Oleh karena itu, pendidik dalam mengajarkan mata pelajaran harus mengandung pesan-pesan sosial dan spiritual, baik dalam proses maupun materinya.Dijelaskan pula bahwa kompetensi dasar yang berkenaan dengan sikap spiritual dan individual-sosial dikembangkan secara tidak langsung (indirect teaching) yaitu pada waktu siswa belajar tentang pengetahuan (mendukung KI-3) dan keterampilan (mendukung KI-4). Dengan demikian, muara akhir pendidikan adalah pembentukan karakter. Pembelajaran peserta didik tidak hanya dituntut agar cerdas dalam kemampuan bidang intelektual (IQ) saja, tetapi jugakecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual. Hal ini sesuai dengan pendapat Tilaar (2009: 28) bahwa manusia Indonesia yang cerdas adalah manusia yang penuh toleransi dan mengakui akan adanya perbedaan dalam suku-suku bangsa yang berjenis-jenis. Demikian pula dikemukakan bahwa mengukur kemampuan seseorang jika hanya diukur dari kecerdasan IQ terlalu sederhana. Mengacu pada uraian tersebut, telah dilakukan pengujian untuk membuktikan bahwa model pembelajaran menulis berbasis kearifan budaya lokal yang berorientasi penanaman nilai-nilai karakter lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan menulis, memberikan banyak inspirasi bahan tulisan, dan mengubah karakter peserta didik.

C.          Implementasi Nau Noan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

Model pembelajaran yang dikembangkan ini lebih banyak menuntut keaktifan dan kreativitas siswa, guru hanya sebagai fasilitator, inovator, inisiator, dan kreator. Sebagai fasilitator, guru menentukan bahan pembelajaran berupa nau noan  yang mengandung nilai karakter  yang dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran untuk memudahkan siswa mendapatkan inspirasi untuk menulis, membaca, berbicara, ataupun menyimak. Guru sebagai inovator dituntut untuk menciptakan suatu metode pembelajaran yang up to date, serta memberikan pengalaman belajar yang mengesankan di hati siswa. Guru sebagai inisiator bertugas untuk memunculkan gagasan-gagasan kreatif dalam menciptakan pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi, minat, dan kreativitas siswa. Adapun guru sebagai kreator, harus memiliki daya kreativitas untuk memberikan sesuatu yang baru bagi siswanya sehingga berkesan dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran yang diciptakanmenjadi pengalaman berguna yang dapat diterapkan dalam kehidupansiswa. Pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan kearifan budaya lokal dalam hal ini nau noan   terdiri atas lima tahap. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tahap Orientasi

Pada tahap ini guru menyampaikan kompetensi dasar daan tujuan pembelajaran yang akan dipelajari. Guru pun menceritakan nau noan  yang sesuai dengan karakter kompetensi dan karakter yang akan ditanamkan kepada siswa. Selanjutnya siswa dikondisikan secara berkelompok untuk mencermati cerita dan menanggapi isi cerita.

 

 

2. Tahap Mengidentifikasi

Pada tahap ini siswa mengidentifikasi nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita yang didengar. Kegiatan ini merupakan langkah penanaman nilai-nilai karakter dalam bentuk cara bekerja sama, menghargai pendapat orang lain, membiasakan membaca, dan menemukan sesuatu dari tulisan (inkuiri). Pada tahap ini pun siswa merumuskan temuan hasil identifikasi melalui diskusi kelompok. Dalam kegiatan ini siswa belajar untuk berpikir kreatif cara menyusun kembali kalimat dengan bahasanya sendiri. Penanaman nilai karakter yang diterapkan adalah belajar berpikir kreatif, berbagi peran, dan bekerja sama.

3. Tahap Mempresentasikan Hasil Identifikasi

Pada tahap ini,  salah seorang siswa (perwakilan kelompok) menyajikan hasil temuannya di depan kelas. Penanaman nilai karakter pada tahapan ini adalah mendidik agar memiliki rasa toleransi, menghargai teman, bersikap demokratis, bertanggung jawab, dan percaya diri.

4. Tahap Melakukan Aksi Nyata

Pada tahap ini guru membimbing siswa sesuai dengan kompetensi dan keterampilan berbahasa yang dituntut dalam kurikulum .

a.      Jika keterampilan menulis yang dituntut, siswa dibimbing untuk menulis kembali nau noan yang didengar sesuai dengan kaidah yang berlaku. Aspek ejaan, tanda baca, huruf kapital, kalimat efektif, paragraf, harus menjadi fokus perhatian dalam penilaian terhadap hasil kerja siswa.

b.      Jika keterampilan berbicara yang dituntut, siswa diminta menceritakan kembali nau noan yang didengar dengan kata-kata sendiri. Media gambar/alat peraga bisa dipakai untuk membantu siswa memproduk kosa kata saat berbicara dan untuk menghindari rasa gugup. Aspek kelancaran berbicara, intonasi, pelafalan, ekspresi (gesture) perlu menjadi fokus dalam penilaian guru terhadap penampilan siswa.

c.       Jika keterampilan membaca yang dituntut, siswa diminta membaca dongeng lain dari buku pelajaran lalu mengerjakan soal yang berhubungan dengan unsur intrinsik dan yang lebih penting adalah mengaitkan isi dongeng dengan realitas yang ada di kehidupan nyata.

d.     Jika yang dilatih keterampilan menyimak, siswa diminta menanggapi isi nau noan dalam kaitannya dengan karakter yang ingin ditanamkan dalam pembelajaran yang sedang berlangsung.

5. Tahap Merefleksi

Tahap merefleksi merupakan tahapan guru menjelaskan atau membahas kelemahan dan kesalahan yang dilakukan siswa. Di sini guru selalu memotivasi siswa agar berani memberikan kritik atau saran terhadap kesalahan/kelemahan materi yang sedang dibahas. Selain itu, siswa diberi kesempatan untuk menyampaikan kesan dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar terhadap pembelajaran yang baru berlangsung. Guru memberi penguatan atau penghargaan kepada siswa. Yang terpenting dilakukan pada tahap ini adalah menunjukkan kesalahan yang sering dilakukan siswa dalam pembelajaran  dan bagaimana solusinya. Penanaman nilai-nilai karakter pada tahap ini meliputi keberanian, percaya diri, jujur, bertanggung jawab, dan saling menghargai.

D.           Penutup

Untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia dibutuhkan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa sehingga dapat memotivasi dan menumbuhkan minat siswa. Pengintegrasian kearifan budaya lokal dalam hal ini nau noan  dapat dijadikan salah satu solusi untuk mengatasi kesulitan siswa mendapatkan ide/gagasan. Selain itu, pengintegrasian kearifan budaya lokal ini merupakan strategi yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai karakter sebagaimana tuntutan Sisdiknas dan Kurikulum 2013. Nilai-nilai dalam kearifan budaya lokal (nau noan) selain dapat membantu siswa untuk mendapatkan inspirasi, juga dapat membantu guru untuk menumbuhkan sikap spiritual dan sikap sosial pada siswa. Dengan demikian model pembelajaran  ini tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga untuk menumbuhkan sikap/karakter positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar