Senin, 07 Desember 2020

LODO HU’ER

 

LODO HU’ER

Rounded Rectangle: FIKSI Oleh: Robertus Adi Sarjono Owon

 


Fajar pagi menyapa. Kokok ayam masih terdengar satu dua di kejauhan. Hawa dingin masih menerpa kulit. Orang-orang belum berani meninggalkan istirahat malamnya. Selimut tubuh makin dieratkan di lilitan badan. Mimpi malam buyar oleh hiruk pikuk dunia, pergi tak meninggalkan bekas. Tiada yang tersisa untuk dikisahkan.

Lain lagi di rumah Om Lukas pagi itu. Semua orang tampak siaga dengan peralatannya masing-masing. Saling panggil. Saling cari. Saling perintah untuk segera berkumpul di ruang utama guna memulai upacara adat lodo hu’er. Kegiatan ini sesungguhnya merupakan ritus penghormatan kepada orang yang telah meninggal. Arwah orang itu akan dijemput dan dihadirkan di kamar utama tersebut untuk diayu-bahagiakan.

Om Lukas tampak sangat sibuk. Setelah menemukan ata ama tukang piong[1], ia mencari pula ata ama papa kabor[2].  A’a[3] dan wine[4] sudah duduk di tempatnya sejak sehari sebelumnya. Masih belum hadir ata me[5] dan ata pu[6]. Setelah ditemukan, persiapan tidak berhenti di situ. Masih ada lagi orang-orang yang harus menunggu di kubur untuk menerima patan ‘lo’e[7]. Begitu ribut dan ribet urusan di pagi yang dingin itu. Pagi itu, akan dilaksanakan ritus wake ‘lo’e[8], plero urun[9], papa blatan[10], dan robak wawi ohu ‘lo’en[11].  

Aku yang masih belia hanya dapat menyaksikannya tanpa kata dan tanpa tanya.  Meskipun sesungguhnya ada banyak pertanyaan yang semestinya kusampaikan pada ayah dan ibu, tetapi hal itu tidak tersampaikan karena semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Entah di kamar utama. Entah di kamar belakang. Entah di halaman depan. Entah di kubur. Entah di dapur. Entahlah…aku kurang paham urusan orang tua-tua yang tampak sangat melelahkan dan merumitkan masalah.

****

Rounded Rectangle: FAKTAA
 

 


Masyarakat Sikka etnis Krowe mempunyai tradisi khusus sebagai penghormatan terhadap arwah orang yang meninggal. Bagi mereka, ketika seseorang meninggal, arwahnya tidak langsung menghadap Sang Khalik, melainkan masih mengembara di dunia. Hidup di tengah keluarga, bersama keluarga, dan masih sangat bergantung pada keluarga. Untuk itu, tidak mengherankan jika keluarga selalu melakukan ritus piong tewok untuk memberi makan para leluhur, baik kepada anggota keluarga yang sudah lama meninggal, teristimewa kepada anggota keluarga yang baru meninggal. Keluarga pun selalu dan senantiasa mendaraskan doa untuk arwah orang yang meninggal tersebut.

Tanda salib tidak bisa serta merta ditanam di kubur orang yang baru meninggal. Penanaman salib hanya boleh dilakukan setelah upacara lodo hu’er diadakan. Tahapan-tahapan upacara tersebut sebagai berikut:

1)     Gi’it menong[12] merupakan ritus pembuka acara lodo hu’er sebagai tanda kesiapan keluarga dalam menghadapi hajatan besar tersebut. Upacara ini dihadiri oleh semua keluarga inti. Ritus ini terdiri atas 2 tahapan yaitu:

a.     Poto pare[13], yakni upacara mengumpulkan dan menghimpun hasil panen mengingat acara ini membutuhkan banyak dana dan biaya. Upacara ini wajib dihadiri oleh A’a[14] dan wine[15]. Kedua orang ini yang akan bertugas mengambil beras untuk dimasak pada saat hari upacara inti.

b.     Tokang nuhun[16], yakni upacara yang dilakukan oleh A’a dan wine sebagai simbol menyiapkan bahan makanan untuk keperluan pesta. A’a bertugas untuk menumbuk padi di lesung dan wine bertugas untuk menampi dan membersihkannya hingga siap digunakan pada waktunya.

2)     Tama Benu[17], yakni acara mengumpulkan keluarga besar yang berstatus sebagai me pu[18] dan ina wine[19]. Acara ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu:

a.     Wake ‘Lo’e[20], yakni acara penjemputan arwah dari kubur dan diantar ke kamar utama tempat berlangsungnya upacara. Kain sarung yang dibungkus dengan sebutir batu yang diambil di kubur pada hari sebelumnya, dibawa keluar dari rumah menuju ke kubur. Di sana akan disembelih seekor anak babi yang darahnya dipercikan dikubur dan dagingnya langsung dibuang. Daging babi tersebut dapat dipilih dan dimasak oleh orang luar untuk dimakan sampai habis. Butiran batu diletakkan kembali di kubur dan kain sarung diserahkan kepada pihak dari me pu yang ditentukan.

b.     Plero urun[21], yakni upacara mengantar arwah dari kubur menuju ke rumah/kamar utama. Hal ini sebagai simbol memberi penerangan bagi arwah yang diyakini masih berada di tempat yang gelap. Upacara ini dilakukan oleh ata pu dan ata me yang telah ditentukan. Ata pu membawa obor yang terbuat dari daun kelapa kering. Obor dibakar dari rumah/kamar utama dan dibawa keluar oleh ata pu dan diikuti oleh ata me yang membawa telur dan sesajen berupa beras dan ekor ikan. Setelah tiba di kubur, pembawa obor 3 kali mengelilingi makam lalu pulang kembali ke rumah. Di depan rumah dekat pintu sebelah kanan diletakkanlah sesajen dan telur di atas sebuah batu pipih. Setelah itu, obor dipadamkan dengan disentuhkan pada tempat sesajen berada hingga telur pecah.

c.     Papa blatan[22], yakni upacara memberikan kesegaran dan kenyamanan bagi arwah yang dipestakan. Upacara ini dilakukan oleh ama papa kabor yang didahului dengan mengupas kulit kelapa, meletakkan sesajen di atas batok kelapa, lalu membelah kelapa tersebut. Kelapa harus dibelah dengan satu kali ayunan tangan. Ama papa kabor pun akan menjelaskan arti dari simbol yang ditemukan pada kelapa. Biasanya penjelasannya berkisar antara sah tidaknya upacara itu dilakukan, kekurangan/kelebihan persediaan beras dan hewan kurban, keutuhan keluarga, dan sebagainya. Selanjutnya kelapa dikukur, diambil santannya, lalu diusapkan pada rambut orang yang duduk mewakili arwah tersebut.

d.     Robak wawi ohu ‘lo’en[23], yakni upacara menyembelih babi sebagai simbol pesta peringatan arwah itu dimulai. Hati dan dagingnya akan diambil dan dimasak di dapur utama untuk disajikan kepada arwah. Selanjutnya, babi-babi lainnya akan disembelih sesuai dengan jumlah me pu dan ina wine yang hadir. Hal ini dikarenakan setelah makan, mereka akan mendapat bagian daging mentah dan beras mentah untuk dibawa pulang.

3)     Bajo mara[24], merupakan upacara berjaga dan berdoa bagi arwah yang dipestakan, dengan tahapan sebagai berikut:

a.     Nara Krus[25], upacara ini sebagai tanda berjaga semalam suntuk setelah upacara inti (tama benu) dilakukan. Salib akan didandani dengan pakaian yang baru dan bagus sesuai dengan kebiasaan berpakaian pesta dari orang yang meninggal. Setelah salib didoakan dan diberkati oleh imam, salib diletakkan di dalam kamar utama. Biasanya orang tua-tua akan melantunkan syair atau kleteng latar yang berisi riwayat hidup orang yang telah meninggal, termasuk keutamaan-keutamaannya yang patut diteladani.

b.     Lodo[26], merupakan upacara yang dilakukan pada saat subuh atau mejelang siang. Dari kamar utama, akan diturunkan bahan-bahan yang tidak diperlukan lagi melalui celah-celah pelupu yang dijadikan sebagai lantai kamar. Upacara ini sebagai simbol pengusiran hal-hal buruk atau najis dari arwah orang yang meninggal sebelum orang yang meninggal itu dipermuliakan oleh kemenangan salib.

c.     Pa’at krus[27], yakni upacara penanaman salib di kubur. Keluarga mengarak salib ke kubur sambil mendaraskan doa. Sesampainya di kubur, salib ditanam di tempat yang disediakan. Pakaian yang dikenakan pada salib akan diambil oleh seorang me pu yang telah ditentukan.

d.     Duru orok rati papan, upacara ini merupakan ritus terakhir dari upacara lodo hu’er. Upacara ini digelar di kebun kepala suku sebagai simbol pembersihan dari segala kekhilafan dan kesalahan selama hidup di dunia dan selama upacara lodo hu’er berlangsung. Seekor babi akan disembelih dan dimasak untuk dimakan oleh semua keluarga yang hadir. Daging yang sisa tidak boleh dibawa pulang ke rumah.

*****

Rounded Rectangle: VALUE 

 


Pendidikan nilai yang dapat diperoleh dari upacara ini meliputi 2 hal besar yakni religius dan sosial. Aspek religius berkaitan dengan relasi manusia dengan Tuhan mahaPencipta. Sikap hidup yang mencerminkan nilai religius antara lain selalu bersyukur atas karunia yang diterima selama hidup. Salib sebagai simbol kemenangan atas maut dan dosa yang ditanam di atas pusara menandakan bahwa kita manusia sebagai makluk yang lemah dan rapuh yang senantiasa mengandalkan Tuhan dalam setiap gerak langkah laku hidup kita.

Aspek sosial berkaitan dengan relasi antarmanusia yang ditandai dengan kehadiran begitu banyak orang; keluarga besar dan handai taulan dalam upacara tersebut. Kehadiran semua anggota keluarga menunjukkan integritas atau kesatuan di antara anggota suku. Perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleran, gotong royong), santun, percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam rangkaian upacara lodo hu’er menjadi tanda bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain.

*****

 

 



[1] Orang yang berperan untuk meletakkan sesajen di atas menhir di kamar utama selama rangkaian upacara lodo hu’er. Biasanya diambil dari kepala suku.

[2] Kepala suku yang bertugas membelah kelapa dan mebaca arti dari tanda-tanda yang ditemukan pada kelapa tersebut.

[3] Tanta besar di dalam suku

[4] Saudari tertua di dalam suku

[5] Orang yang ditentukan dari status anak di dalam suku yang bertugas membawa telur pada saat upacara

[6] Orang yang ditentukan dari status ponakan di dalam suku yang bertugas membawa obor (urun) pada saat upacara

[7] Kain sarung yang dipakai untuk membungkus batu sebagai simbol arwah orang yang meninggal.

[8] Upacara menjemput arwah hadir di kamar utama untuk diayu-bahagiakan.

[9] Upacara memberi penerangan kepada arwah karena diyakini mereka masih berada di tempat yang gelap.

[10] Upacara memberi kesejukan dan kenyamanan bagi arwah setelah sekian lama berada di tempat yang panas.

[11] Upacara penyembelian babi untuk menjamu arwah yang telah dihadirkan di kamar utama.

[12] Arti harafiahnya adalah kesatuan dan kekuatan. Maknanya keluarga bersatu padu untuk menyelenggarakan acara.

[13] Arti harafiahnya adalah menaikkan beras. Maknanya kebutuhan akomodasi untuk pesta siap digunakan.

[14] Tanta tertua

[15] Saudari tertua

[16] Mendirikan lesung

[17] Keluarga berdatangan dan berkumpul di tempat acara

[18] Anak dan ponakan

[19] saudari

[20] Upacara menjemput arwah

[21] Upacara memberi penerangan kepada arwah karena diyakini mereka masih berada di tempat yang gelap

[22] Upacara memberi kesejukan dan kenyamanan bagi arwah setelah sekian lama berada di tempat yang panas

[23] Upacara penyembelian babi untuk menjamu arwah yang telah dihadirkan di kamar utama

[24] Berjaga atau tirakatan dengan melantunkan syair/kleteng latar terkait riwayat orang yang meninggal

[25] Berdoa bagi keselamatan arwah yang hadir dalam simbol salib

[26] Pengusiran hal-hal buruk atau najis dari arwah orang yang meninggal

[27] Tanam salib sebagai simbol arwah orang yang meninggal telah memperoleh keselamatan berkat salib Kristus.

2 komentar: