Rabu, 09 Desember 2020

HELM


HELM
oleh: Irene Sidok
Selasa, 8 Desember 2020, sekitar pukul 15 30 WITA, ku masuki halaman rumahku dengan rasa haru biru. Setelah memarkirkan motorku, ku berlangkah gontai menuju teras samping rumahku. Hujan masih turun walau tak lagi deras. Rumah tampak lengang. Ku susuri kamar demi kamar. Di kamar pertama, si gadis kecil terlelap memeluk gulingnya. Ku menuju ke ruang tengah, di sana si Bapa terlelap di atas kasur tempat kami semua biasa bersenda gurau, menunggui putra kecilnya yang juga terlelap di ayunannya. Sementara si Sulung, sejak dirumahkan oleh sekolah, dia memutuskan tinggal di rumah dede bungsunya. Pantas saja tak ada suara jemputan menyambut pulangku. Aku menarik napas berat tapi legah mendapati semua mereka baik-baik saja. Ada haru di hatiku. Ku buka helm yang dari tadi ku pakai. Ku letakan tepat di samping si Bapa yang sedang terlelap. Lalu ku beranjak ke kamar. Beberapa saat kemudian, ku dengar omelan si Bapa. "Du'a kenapa taruh helm sembarang?" begitu suara Bapa sambil ku dengar langkah kakinya menuju tempat biasa kami meletakan helm. Ku biarkan saja dia bersungut. Karena memang aku inginbdia bertanya tentang helm itu. ( Nantikan lanjutan cerita seru tentang HELM ini dalam cerpenku berikutnya.)
Keterangan foto tidak tersedia.


entari

 Pukul 14.00 WITA, setelah menyelesaikan urusan di Kecamatan tetangga, ku lajukan Fino ku dengan kecepatan 60 seperti biasanya jika sedang tidak terburu-buru. Di langit tampak awan hitam pekat berarak, berkumpul seolah menyelubungi perjalanan senyap ku siang itu. Sementara itu, deru ombak bergemuruh. Tampak oleh ku warna laut coklat berbuih putih laksana secangkir ABC White Coffee yang baru saja diseduh air panas. Jalanan cukup sepi. Tidak banyak kendaraan lalu lalang. Aku terus mengendalikan laju Fino ku. Tak berapa jauh ku berjalan, butiran hujan mulai turun perlahan. Ku pinggirkan motorku, berhenti, lalu mengenakan mantelku dan melanjutkan perjalananku lagi. Makin lama hujan makin deras bagai tercurah dari langit. Pandangan ku mulai kabur oleh karena kaca penutup wajah pada helm yang ku kenakan. Demi kenyamanan perjalananku, ku angkat kaca penutup itu agar pandanganku tidak terhalang butiran air yang menempel pada kaca itu. Angin berhembus makin lama makin kencang. Aku merasa sulit mengendalikan stir motorku bahkan hantamannya sempat menyingkirkan ku ke pinggir. Aku ingin berhenti tapi takut terjebak sendirian di jalan sepi itu. Ku putuskan untuk terus berjalan perlahan. Ku edarkan pandang ke tepi kiri dan kanan jalan. Tampak oleh ku dedaunan pohon ramai meliuk ke selatan mengikuti arah angin kencang itu. Hujan makin deras. Tepat di Wairterang, aku ingin berhenti sejenak tapi suasana terasa begitu mencekam. Ku lihat ibu-ibu yang berjualan di lapak tepat pinggir trotoar itu mulai berhambur keluar sambil memandang panik ke arah pepohonan. Aku yang juga cemas, sempat berteriak, “ Mama....awas pohon itu.” Sekitar 2 meter setelah itu, angin kembali berhembus sangat kencang hingga kaca helm ku terlepas ke jalanan. Aku berhenti. Memungutnya lalu memasangnya kembali. Ku kenakan lagi dan berjalan lagi. Mata ku bagai diperintah beredar ke arah utara dan ku dapati pohon asam tua itu mulai condong ke jalan. Dan tepat beberapa meter di depan ku “ Brum....prak..”, pohon tua itu roboh melintang di badan jalan. Bersamaan dengan itu, tangan kiri dan kananku bagai dikomando mengendalikan rem hingga berderit panjang, lalu diam, tak bergerak. Untuk sesaat dalam kepanikan, aku mematung di atas motorku, di jalanan sepi itu. Ku tatap pangling ke arah pohon asam yang hampir saja menimpa ku itu. Bisu. Tanpa kata. Di tengah deras hujan itu aku bengong tak tahu apa yang ku pikirkan. Aku baru sadar setelah sebuah truk besar berhenti di belakangku. Saat itulah aku terjaga dari lamunanku, mengucap sukyur pada Tuhan yang telah mengirimkan angin kencang yang sempat menghantam kaca helmku, hingga aku sempat berhenti beberapa menit sebelumnya. Jika tidak.....” Ah....terima kasih helm.” Si Bapa tertegun menatapku, setelah mendengar alasanku meletakan helm itu di dekatnya tidur. Dengan suara perlahan dia berkata, “ Pantas tadi si kecil tiba-tiba menangis tanpa sebab, sampai aku kewalahan mendiamkannya. Sukyur Tuhan masih menjagamu untuk kami.”

1 komentar:

  1. Bila Tuhan membuat langkah kita terhalang, jangan cepat kecewa atau putus asa Bisa jadi, itu cra Tuhan untuk menyelamatkn kita dari bahaya yang lebih besar.

    BalasHapus