“Woko…
Toa o…, Toa o… Kerik…kerik…kerik..!”
Sekejap
semua warga di dusun kecilku serentak terdiam. Konsentrasi pada sumber suara.
Semua yang masih di luar rumah bergegas masuk. Masing-masing mencari posisi
aman di sekitar atau di dekat ayah dan ibunya duduk. Ada yang memeluk erat
ibunya. Ada pula yang merapat dekat ke ayahnya. Semua wajah memperlihatkan rasa
takut yang luar biasa. Apalagi malam makin kelam dan angin malam berhembus
pelan.
“Ssttt…diam-diam. Jangan beriksik,”ayah mengingatkan kami yang masih sibuk mencari tempat berlindung. Rupanya ayah sedang mencermati asal muasal bunyi itu. “Moat, warga kita yang di ujung kampung tu sedang sakit keras. Tadi sore katanya hampir membuang nafas terakhir,” bisik ibu di tengah keheningan kami di dalam gelapnya malam. Lampu minyak tanah yang terletak di tengah ruangan kian redup. Kemungkinan kehabisan minyak. Apalagi angina dingin masih terus bertiup meskipun pelan. “Kalau hanya sekedar woko dan toa, …”keluh ibu seolah pada diri sendiri dan menghentikan kata-katanya. Ibu tidak berani melanjutkan setelah melihat air muka ayah.
“Nurak,
tolong isi minyak dulu,”suruh ayah pada sulung kami yang duduk di dekatnya.
Nurak menggeleng dan kian merapat ke ibu. Aku sebagai si bungs uterus nempel
pada ayah. “Ah, kamu ini. Kenapa takut?”tanya ayah sembari menyedot rokok
lontar di bibirnya. “Ih….ayah!”teriakku keras dan tiba-tiba sudah ada di atas
pangkuan ayah, tatkala suara itu terdengar lagi persis di atas bubungan rumah.
“Toa o.. toa o…kerik..kerik…kerik..!” Aku semakin erat bergelayut di leher
ayah. Nurak memeluk pinggang ibu. Mitan berpndah duduk di antara ayah dan ibu.
“Anak-anak,”kata
ayah seraya memelototi kami satu per satu. “Saya tidak suka mempunyai anak-anak
penakut. Semua itu tidak benar. Kata-kata orang-orang kampung itu salah
semuanya,”kata ayah meyakinkan kami. Suaranya tegas. Penuh wibawa. Tatapan
matanya bersahabat seolah mengajak kami masuk di dalam bola matamya yang
bening. “Suara yang baru saja kamu dengar, hanyalah suara burung hutan. Burung
itu mau mandi di laut. Biasanya setelah dia kembali ke hutan, hujan pasti
turun,”jelas ayah. “Apakah kamu sudah siapkan lahan untuk menanam?”tanyanya
pada kami. “Belum, Yah. Kebunku sisa sedikit lagi. Besok juga kelar,”jawah Mitan.
“Aku punya baru bersihkan rumput-rumput yang kering. Habisnya, bantu masak tiap
hari,”jawab Nurak. “Nah, lebih baik kamu focus untuk itu. Sulung Goak kalau sudah berbunyi, pasti hujan segera turun. Musim
penghujan akan segera tiba,”kata ayah memberi semangat. Belum habis perkataan
ayah, hujan pun turun dengan lebatnya. Petir dan kilat susul menyusul. Esok
paginya terdengar kabar bahwa tetangga di ujung kampung sudah meninggal. Aku
dan saudara-saudaraku mau percaya yang mana? Cerita orang-orang atau cerita ayah
seorang?
******
Bagi
masyarakat Sikka etnis Krowe di Nusa Tenggara Timur, sebutan woko toa adalah sebutan yang sangat
menakutkan. Istilah tersebut dihubungkan dengan suara suanggi yang sedang
mencari mangsa. Suara-suara tersebut biasanya terdengar pada malam hari. Jika
suara itu terdengar, semua warga pasti ketakutan. Mereka tidak berani keluar
rumah meskipun untuk urusan pribadi seperti ke toilet.
Konon
woko itu suanggi yang berjenis
kelamin perempuan. Suara yang terdengar pada saat mereka beraksi adalah
“woko…woko…” dengan intonasi lembut dengan nada yang rendah. Menurut
kepercayaan masyarakat setempat, suanggi perempuan sedang melakukan ‘survey’
untuk menemukan korban yang bisa dijadikan mangsa. Jadi, jika ada anggota
keluarga yang sedang sakit, perasaan was-was segenap anggota keluarga akan
tercipta. Tidak boleh ada yang keluar rumah. Jika terpaksa, harus ditemani oleh
orang yang lebih tua. Di halaman depan rumah pasti dibuat api unggun semalam
suntuk. Di setiap sudut rumah dan halaman diletakan daun pucuk damar sebagai
penangkal suanggi tersebut. Suanggi tidak akan bisa masuk ke halaman dan rumah
keluarga yang bersangkutan.
Toa adalah sebutan untuk suanggi
laki-laki. Suara yang terdengar yakni “toa o… toa ooo…” begitu seterusnya.
Intonasi suara lebih tinggi dan tegas. Terus menerus sepanjang malam bahkan
hingga beberapa malam. Jika suara ini terdengar, kewaspadaan masyarakat semakin
meningkat. Kadang sang Ayah di rumah tersebut terus berjaga hingga pagi hari
jika ada anggota keluarga yang sedang sakit. Tidak hanya berjaga, ayah juga
mengeluarkan kata-kata penolakan agar si Suanggi mencari mangsanya pada
orang-orang yang memang bersalah. Ia seperti berbicara sendiri, tetapi suaranya
diperkeras seolah mengusir sang Suanggi tersebut.
Suanggi
laki-laki itu, tidak hanya mengeluarkan suara “toa o..” tetapi juga ia
mengeluarkan suara “kerik… kerik… kerik…”dengan intonasi cepat dan tegas lalu
menghilang. Jika hal ini terdengar, dalam waktu hitungan hari pasti aka nada
warga yang meninggal entah karena sakit atau karena musibah seperti jatuh dari
pohon, tenggelam di laut atau sungai, dsb. Pada saat peristiwa kematian itu
terjadi, warga yang melayat pasti bercengkerama dan menghubung-hubungkan
kematian itu dengan suara-suara ‘toa dan kerik’ tersebut.
Nah,
berbeda dengan masyarakat pada umumnya, ayahku mengatakan bahwa suara-suara
tersebut adalah suara sulung goak, sejenis
burung malam seperti burung hantu. Burung tersebut tidak kelihatan dengan mata
telanjang, hanya dapat dilihat dengan mata batin. Ayahku bercerita bahwa burung
tersebut hanya dapat keluar sesewaktu ketika ia merasa kepanasan tinggal di
dalam gua di tengah hutan. Biasanya burung itu akan keluar dari gua dan terbang
menuju ke laut untuk mandi. Dalam perjalanan menuju ke laut itulah, ia bersuara
“woko…toa o… kerik…” Jika hal itu terjadi, musim penghujan akan segera tiba.
Ayahku
mengemas ceritanya sedemikian rupa sehingga rasa takut terhadap suara-suara
tersebut tidak kami rasakan. Jika keluarga-keluarga lain ketakutan mendengarkan
suara tersebut, saya dan saudara-saudaraku biasa-biasa saja. Bahkan kami merasa
senang karena musim hujan akan tiba. Dengan demikian, kami pasti memiliki cukup
air untuk minum, masak, mandi, dan cuci. Kami berharap segera turun hujan agar
rasa sejuk dan segar bisa kami rasakan.
Kami
baru menyadarinya bahwa cerita tentang sulung
goak itu hanyalah pengalihan isu
saja. Ayah sengaja menghadirkan tokoh lain untuk mengurangi rasa takut pada
diri kami. Bahkan ayah ingin agar kami menjadi anak yang pemberani. Tidak takut
malam, gelap, dan semua yang terjadi pada malam. Kami diajari bahwa sebenarnya
siang dan malam itu sama saja. Hanya gelap dan hening yang membedakannya. Tidak
ada alasan untuk merasa takut. Ketakutan itu terjadi karena pikiran kita
sendiri. Jika pikiran dapat melahirkan rasa takut, mengapa ceritanya tidak
diganti untuk menciptakan pikiran yang menghadirkan rasa tenang, berani, dan
optimis? Begitulah, sosok burung sulung
goak itu hadir di dalam keluarga
kami.
******
Rasa
takut adalah defence mechanism, atau
mekanik bela diri.yang timbul pada diri seseorang karena adanya kecenderungan
untuk membela diri sendiri dari bahaya atau hanya perasaan yang tidak enak
terhadap sesuatu hal. Hal ini sejalan dengan Doktor Tony Whitehad, dalam
bukunya yang berjudul “Fears and Phobias” yang mengatakan bahwa definisi takut
adalah sesuatu yang agak kompleks, di dalamnya terdapat suatu perasaan
emosional dan sejumlah perasaan jasmaniah.
Rasa
takut sesungguhnya adalah emosi yang sangat manusiawi bahkan hewani. Rasa takut
dihasilkan oleh bagian kecil otak bernama amigdala sebagai respon primitif
terhadap ancaman. Dengan memiliki rasa takut, kita otomatis akan berusaha
mencari cara untuk mempertahankan diri dan bertahan hidup. Singkatnya, ribuan
tahun evolusi mengajarkan spesies manusia untuk menghindar dari kepunahan.
Namun, rasa takut itu bisa jadi sangat ekstrem. Bagi orang-orang yang mengalami
fobia alias ketakutan berlebihan terhadap suatu hal, rasa takut bisa mengganggu
kenyamanan, menyulitkan kehidupan sehari-hari, bahkan mengancam nyawa. Untuk
itu, diperlukan cara yang efektif untuk mengatasi rasa takut.
Penelitian
yang dilakukan secara terpisah oleh tim Thomas Ågren dari Universitas Uppsala
dan Daniella Schiller dari Universitas New York menunjukkan hasil awal yang
menjanjikan: rasa takut ternyata bisa dilenyapkan sama sekali.
Saat
mengingat sebuah memori, otak kita mengalami proses perombakan emosi.
Akibatnya, perasaan yang muncul pada saat itu ditentukan oleh bagaimana
terakhir kali memori tersebut kita ingat. Dengan memanipulasi proses ini, rasa
takut nantinya bisa dihilangkan sama sekali dari memori tertentu. Hanya saja,
satu-satunya cara untuk bisa memanipulasi ingatan tentunya dengan terlebih
dahulu mengingat setiap detail memori tersebut secara keseluruhan.
Bagaimana
cara menghadapi rasa takut? Rasa takut dapat dikonversi menjadi berani dengan
melakukan hal-hal berikut antara lain mengenali diri sendiri, mengubah cara
pandang, coba menghadapi rasa taku secara perlahan-lahan, dan berusaha untuk
rileks.
Sudah
sewajarnya kita menghindari hal yang kita takuti, tetapi hanya dengan berani
menghadapinya maka kita mempunyai kesempatan untuk menaklukkan ketakutan yang
kita alami. (www.sciencedaily.com/releases/2012/09/120920141155.htm)
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar