Selasa, 06 Oktober 2020

WOKO TOA VS SULUNG GOAK DAN RASA TAKUT

 

 

“Woko… Toa o…, Toa o… Kerik…kerik…kerik..!”

Sekejap semua warga di dusun kecilku serentak terdiam. Konsentrasi pada sumber suara. Semua yang masih di luar rumah bergegas masuk. Masing-masing mencari posisi aman di sekitar atau di dekat ayah dan ibunya duduk. Ada yang memeluk erat ibunya. Ada pula yang merapat dekat ke ayahnya. Semua wajah memperlihatkan rasa takut yang luar biasa. Apalagi malam makin kelam dan angin malam berhembus pelan.


“Ssttt…diam-diam. Jangan beriksik,”ayah mengingatkan kami yang masih sibuk mencari tempat berlindung. Rupanya ayah sedang mencermati asal muasal bunyi itu. “Moat, warga kita yang di ujung kampung tu sedang sakit keras. Tadi sore katanya hampir membuang nafas terakhir,” bisik ibu di tengah keheningan kami di dalam gelapnya malam. Lampu minyak tanah yang terletak di tengah ruangan kian redup. Kemungkinan kehabisan minyak. Apalagi angina dingin masih terus bertiup meskipun pelan. “Kalau hanya sekedar woko dan toa, …”keluh ibu seolah pada diri sendiri dan menghentikan kata-katanya. Ibu tidak berani melanjutkan setelah melihat air muka ayah.

“Nurak, tolong isi minyak dulu,”suruh ayah pada sulung kami yang duduk di dekatnya. Nurak menggeleng dan kian merapat ke ibu. Aku sebagai si bungs uterus nempel pada ayah. “Ah, kamu ini. Kenapa takut?”tanya ayah sembari menyedot rokok lontar di bibirnya. “Ih….ayah!”teriakku keras dan tiba-tiba sudah ada di atas pangkuan ayah, tatkala suara itu terdengar lagi persis di atas bubungan rumah. “Toa o.. toa o…kerik..kerik…kerik..!” Aku semakin erat bergelayut di leher ayah. Nurak memeluk pinggang ibu. Mitan berpndah duduk di antara ayah dan ibu.

“Anak-anak,”kata ayah seraya memelototi kami satu per satu. “Saya tidak suka mempunyai anak-anak penakut. Semua itu tidak benar. Kata-kata orang-orang kampung itu salah semuanya,”kata ayah meyakinkan kami. Suaranya tegas. Penuh wibawa. Tatapan matanya bersahabat seolah mengajak kami masuk di dalam bola matamya yang bening. “Suara yang baru saja kamu dengar, hanyalah suara burung hutan. Burung itu mau mandi di laut. Biasanya setelah dia kembali ke hutan, hujan pasti turun,”jelas ayah. “Apakah kamu sudah siapkan lahan untuk menanam?”tanyanya pada kami. “Belum, Yah. Kebunku sisa sedikit lagi. Besok juga kelar,”jawah Mitan. “Aku punya baru bersihkan rumput-rumput yang kering. Habisnya, bantu masak tiap hari,”jawab Nurak. “Nah, lebih baik kamu focus untuk itu. Sulung Goak kalau sudah berbunyi, pasti hujan segera turun. Musim penghujan akan segera tiba,”kata ayah memberi semangat. Belum habis perkataan ayah, hujan pun turun dengan lebatnya. Petir dan kilat susul menyusul. Esok paginya terdengar kabar bahwa tetangga di ujung kampung sudah meninggal. Aku dan saudara-saudaraku mau percaya yang mana? Cerita orang-orang atau cerita ayah seorang?

 

******

Bagi masyarakat Sikka etnis Krowe di Nusa Tenggara Timur, sebutan woko toa adalah sebutan yang sangat menakutkan. Istilah tersebut dihubungkan dengan suara suanggi yang sedang mencari mangsa. Suara-suara tersebut biasanya terdengar pada malam hari. Jika suara itu terdengar, semua warga pasti ketakutan. Mereka tidak berani keluar rumah meskipun untuk urusan pribadi seperti ke toilet.

Konon woko itu suanggi yang berjenis kelamin perempuan. Suara yang terdengar pada saat mereka beraksi adalah “woko…woko…” dengan intonasi lembut dengan nada yang rendah. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, suanggi perempuan sedang melakukan ‘survey’ untuk menemukan korban yang bisa dijadikan mangsa. Jadi, jika ada anggota keluarga yang sedang sakit, perasaan was-was segenap anggota keluarga akan tercipta. Tidak boleh ada yang keluar rumah. Jika terpaksa, harus ditemani oleh orang yang lebih tua. Di halaman depan rumah pasti dibuat api unggun semalam suntuk. Di setiap sudut rumah dan halaman diletakan daun pucuk damar sebagai penangkal suanggi tersebut. Suanggi tidak akan bisa masuk ke halaman dan rumah keluarga yang bersangkutan.

Toa adalah sebutan untuk suanggi laki-laki. Suara yang terdengar yakni “toa o… toa ooo…” begitu seterusnya. Intonasi suara lebih tinggi dan tegas. Terus menerus sepanjang malam bahkan hingga beberapa malam. Jika suara ini terdengar, kewaspadaan masyarakat semakin meningkat. Kadang sang Ayah di rumah tersebut terus berjaga hingga pagi hari jika ada anggota keluarga yang sedang sakit. Tidak hanya berjaga, ayah juga mengeluarkan kata-kata penolakan agar si Suanggi mencari mangsanya pada orang-orang yang memang bersalah. Ia seperti berbicara sendiri, tetapi suaranya diperkeras seolah mengusir sang Suanggi tersebut.

Suanggi laki-laki itu, tidak hanya mengeluarkan suara “toa o..” tetapi juga ia mengeluarkan suara “kerik… kerik… kerik…”dengan intonasi cepat dan tegas lalu menghilang. Jika hal ini terdengar, dalam waktu hitungan hari pasti aka nada warga yang meninggal entah karena sakit atau karena musibah seperti jatuh dari pohon, tenggelam di laut atau sungai, dsb. Pada saat peristiwa kematian itu terjadi, warga yang melayat pasti bercengkerama dan menghubung-hubungkan kematian itu dengan suara-suara ‘toa dan kerik’ tersebut.

Nah, berbeda dengan masyarakat pada umumnya, ayahku mengatakan bahwa suara-suara tersebut adalah suara sulung goak, sejenis burung malam seperti burung hantu. Burung tersebut tidak kelihatan dengan mata telanjang, hanya dapat dilihat dengan mata batin. Ayahku bercerita bahwa burung tersebut hanya dapat keluar sesewaktu ketika ia merasa kepanasan tinggal di dalam gua di tengah hutan. Biasanya burung itu akan keluar dari gua dan terbang menuju ke laut untuk mandi. Dalam perjalanan menuju ke laut itulah, ia bersuara “woko…toa o… kerik…” Jika hal itu terjadi, musim penghujan akan segera tiba.

Ayahku mengemas ceritanya sedemikian rupa sehingga rasa takut terhadap suara-suara tersebut tidak kami rasakan. Jika keluarga-keluarga lain ketakutan mendengarkan suara tersebut, saya dan saudara-saudaraku biasa-biasa saja. Bahkan kami merasa senang karena musim hujan akan tiba. Dengan demikian, kami pasti memiliki cukup air untuk minum, masak, mandi, dan cuci. Kami berharap segera turun hujan agar rasa sejuk dan segar bisa kami rasakan.

Kami baru menyadarinya bahwa cerita tentang sulung goak  itu hanyalah pengalihan isu saja. Ayah sengaja menghadirkan tokoh lain untuk mengurangi rasa takut pada diri kami. Bahkan ayah ingin agar kami menjadi anak yang pemberani. Tidak takut malam, gelap, dan semua yang terjadi pada malam. Kami diajari bahwa sebenarnya siang dan malam itu sama saja. Hanya gelap dan hening yang membedakannya. Tidak ada alasan untuk merasa takut. Ketakutan itu terjadi karena pikiran kita sendiri. Jika pikiran dapat melahirkan rasa takut, mengapa ceritanya tidak diganti untuk menciptakan pikiran yang menghadirkan rasa tenang, berani, dan optimis? Begitulah, sosok burung sulung goak  itu hadir di dalam keluarga kami.

******

Rasa takut adalah defence mechanism, atau mekanik bela diri.yang timbul pada diri seseorang karena adanya kecenderungan untuk membela diri sendiri dari bahaya atau hanya perasaan yang tidak enak terhadap sesuatu hal. Hal ini sejalan dengan Doktor Tony Whitehad, dalam bukunya yang berjudul “Fears and Phobias” yang mengatakan bahwa definisi takut adalah sesuatu yang agak kompleks, di dalamnya terdapat suatu perasaan emosional dan sejumlah perasaan jasmaniah.

Rasa takut sesungguhnya adalah emosi yang sangat manusiawi bahkan hewani. Rasa takut dihasilkan oleh bagian kecil otak bernama amigdala sebagai respon primitif terhadap ancaman. Dengan memiliki rasa takut, kita otomatis akan berusaha mencari cara untuk mempertahankan diri dan bertahan hidup. Singkatnya, ribuan tahun evolusi mengajarkan spesies manusia untuk menghindar dari kepunahan. Namun, rasa takut itu bisa jadi sangat ekstrem. Bagi orang-orang yang mengalami fobia alias ketakutan berlebihan terhadap suatu hal, rasa takut bisa mengganggu kenyamanan, menyulitkan kehidupan sehari-hari, bahkan mengancam nyawa. Untuk itu, diperlukan cara yang efektif untuk mengatasi rasa takut.

Penelitian yang dilakukan secara terpisah oleh tim Thomas Ågren dari Universitas Uppsala dan Daniella Schiller dari Universitas New York menunjukkan hasil awal yang menjanjikan: rasa takut ternyata bisa dilenyapkan sama sekali.

Saat mengingat sebuah memori, otak kita mengalami proses perombakan emosi. Akibatnya, perasaan yang muncul pada saat itu ditentukan oleh bagaimana terakhir kali memori tersebut kita ingat. Dengan memanipulasi proses ini, rasa takut nantinya bisa dihilangkan sama sekali dari memori tertentu. Hanya saja, satu-satunya cara untuk bisa memanipulasi ingatan tentunya dengan terlebih dahulu mengingat setiap detail memori tersebut secara keseluruhan.

Bagaimana cara menghadapi rasa takut? Rasa takut dapat dikonversi menjadi berani dengan melakukan hal-hal berikut antara lain mengenali diri sendiri, mengubah cara pandang, coba menghadapi rasa taku secara perlahan-lahan, dan berusaha untuk rileks.

Sudah sewajarnya kita menghindari hal yang kita takuti, tetapi hanya dengan berani menghadapinya maka kita mempunyai kesempatan untuk menaklukkan ketakutan yang kita alami. (www.sciencedaily.com/releases/2012/09/120920141155.htm)

 

*******

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar