GURU BERGURU DI CAKRAWALA ILMU
Berbagi Pembelajaran Inovatif
Minggu, 10 Juli 2022
Rabu, 09 Desember 2020
HELM
entari
Pukul 14.00 WITA, setelah menyelesaikan urusan di Kecamatan tetangga, ku lajukan Fino ku dengan kecepatan 60 seperti biasanya jika sedang tidak terburu-buru. Di langit tampak awan hitam pekat berarak, berkumpul seolah menyelubungi perjalanan senyap ku siang itu. Sementara itu, deru ombak bergemuruh. Tampak oleh ku warna laut coklat berbuih putih laksana secangkir ABC White Coffee yang baru saja diseduh air panas. Jalanan cukup sepi. Tidak banyak kendaraan lalu lalang. Aku terus mengendalikan laju Fino ku. Tak berapa jauh ku berjalan, butiran hujan mulai turun perlahan. Ku pinggirkan motorku, berhenti, lalu mengenakan mantelku dan melanjutkan perjalananku lagi. Makin lama hujan makin deras bagai tercurah dari langit. Pandangan ku mulai kabur oleh karena kaca penutup wajah pada helm yang ku kenakan. Demi kenyamanan perjalananku, ku angkat kaca penutup itu agar pandanganku tidak terhalang butiran air yang menempel pada kaca itu. Angin berhembus makin lama makin kencang. Aku merasa sulit mengendalikan stir motorku bahkan hantamannya sempat menyingkirkan ku ke pinggir. Aku ingin berhenti tapi takut terjebak sendirian di jalan sepi itu. Ku putuskan untuk terus berjalan perlahan. Ku edarkan pandang ke tepi kiri dan kanan jalan. Tampak oleh ku dedaunan pohon ramai meliuk ke selatan mengikuti arah angin kencang itu. Hujan makin deras. Tepat di Wairterang, aku ingin berhenti sejenak tapi suasana terasa begitu mencekam. Ku lihat ibu-ibu yang berjualan di lapak tepat pinggir trotoar itu mulai berhambur keluar sambil memandang panik ke arah pepohonan. Aku yang juga cemas, sempat berteriak, “ Mama....awas pohon itu.” Sekitar 2 meter setelah itu, angin kembali berhembus sangat kencang hingga kaca helm ku terlepas ke jalanan. Aku berhenti. Memungutnya lalu memasangnya kembali. Ku kenakan lagi dan berjalan lagi. Mata ku bagai diperintah beredar ke arah utara dan ku dapati pohon asam tua itu mulai condong ke jalan. Dan tepat beberapa meter di depan ku “ Brum....prak..”, pohon tua itu roboh melintang di badan jalan. Bersamaan dengan itu, tangan kiri dan kananku bagai dikomando mengendalikan rem hingga berderit panjang, lalu diam, tak bergerak. Untuk sesaat dalam kepanikan, aku mematung di atas motorku, di jalanan sepi itu. Ku tatap pangling ke arah pohon asam yang hampir saja menimpa ku itu. Bisu. Tanpa kata. Di tengah deras hujan itu aku bengong tak tahu apa yang ku pikirkan. Aku baru sadar setelah sebuah truk besar berhenti di belakangku. Saat itulah aku terjaga dari lamunanku, mengucap sukyur pada Tuhan yang telah mengirimkan angin kencang yang sempat menghantam kaca helmku, hingga aku sempat berhenti beberapa menit sebelumnya. Jika tidak.....” Ah....terima kasih helm.” Si Bapa tertegun menatapku, setelah mendengar alasanku meletakan helm itu di dekatnya tidur. Dengan suara perlahan dia berkata, “ Pantas tadi si kecil tiba-tiba menangis tanpa sebab, sampai aku kewalahan mendiamkannya. Sukyur Tuhan masih menjagamu untuk kami.”
Senin, 07 Desember 2020
LODO HU’ER
LODO
HU’ER
Oleh:
Robertus Adi Sarjono Owon
Fajar pagi menyapa. Kokok ayam masih terdengar satu dua di kejauhan. Hawa dingin masih menerpa kulit. Orang-orang belum berani meninggalkan istirahat malamnya. Selimut tubuh makin dieratkan di lilitan badan. Mimpi malam buyar oleh hiruk pikuk dunia, pergi tak meninggalkan bekas. Tiada yang tersisa untuk dikisahkan.
Lain lagi di rumah Om Lukas pagi
itu. Semua orang tampak siaga dengan peralatannya masing-masing. Saling
panggil. Saling cari. Saling perintah untuk segera berkumpul di ruang utama
guna memulai upacara adat lodo hu’er.
Kegiatan ini sesungguhnya merupakan ritus penghormatan kepada orang yang telah
meninggal. Arwah orang itu akan dijemput dan dihadirkan di kamar utama tersebut
untuk diayu-bahagiakan.
Om Lukas tampak sangat sibuk.
Setelah menemukan ata ama tukang piong[1], ia mencari pula ata ama papa kabor[2]. A’a[3]
dan wine[4]
sudah duduk di tempatnya sejak sehari sebelumnya. Masih belum hadir ata
me[5]
dan ata
pu[6].
Setelah ditemukan, persiapan tidak berhenti di situ. Masih ada lagi orang-orang
yang harus menunggu di kubur untuk menerima patan
‘lo’e[7].
Begitu ribut dan ribet urusan di pagi yang dingin itu. Pagi itu, akan
dilaksanakan ritus wake ‘lo’e[8], plero
urun[9],
papa blatan[10],
dan robak wawi ohu ‘lo’en[11].
Aku yang masih belia hanya dapat
menyaksikannya tanpa kata dan tanpa tanya.
Meskipun sesungguhnya ada banyak pertanyaan yang semestinya kusampaikan
pada ayah dan ibu, tetapi hal itu tidak tersampaikan karena semua orang sibuk
dengan urusannya masing-masing. Entah di kamar utama. Entah di kamar belakang.
Entah di halaman depan. Entah di kubur. Entah di dapur. Entahlah…aku kurang
paham urusan orang tua-tua yang tampak sangat melelahkan dan merumitkan
masalah.
****
Masyarakat Sikka etnis Krowe
mempunyai tradisi khusus sebagai penghormatan terhadap arwah orang yang
meninggal. Bagi mereka, ketika seseorang meninggal, arwahnya tidak langsung
menghadap Sang Khalik, melainkan masih mengembara di dunia. Hidup di tengah
keluarga, bersama keluarga, dan masih sangat bergantung pada keluarga. Untuk
itu, tidak mengherankan jika keluarga selalu melakukan ritus piong
tewok untuk memberi makan para leluhur, baik kepada anggota keluarga
yang sudah lama meninggal, teristimewa kepada anggota keluarga yang baru
meninggal. Keluarga pun selalu dan senantiasa mendaraskan doa untuk arwah orang
yang meninggal tersebut.
Tanda salib tidak bisa serta merta
ditanam di kubur orang yang baru meninggal. Penanaman salib hanya boleh
dilakukan setelah upacara lodo hu’er diadakan. Tahapan-tahapan upacara tersebut sebagai berikut:
1)
Gi’it menong[12]
merupakan ritus pembuka acara lodo hu’er sebagai tanda kesiapan keluarga dalam menghadapi hajatan besar
tersebut. Upacara ini dihadiri oleh semua keluarga inti. Ritus ini terdiri atas
2 tahapan yaitu:
a.
Poto pare[13],
yakni upacara mengumpulkan dan menghimpun hasil panen mengingat acara ini
membutuhkan banyak dana dan biaya. Upacara ini wajib dihadiri oleh A’a[14]
dan wine[15].
Kedua orang ini yang akan bertugas mengambil beras untuk dimasak pada saat hari
upacara inti.
b.
Tokang nuhun[16],
yakni upacara yang dilakukan oleh A’a dan wine sebagai simbol
menyiapkan bahan makanan untuk keperluan pesta. A’a bertugas untuk
menumbuk padi di lesung dan wine bertugas untuk menampi dan
membersihkannya hingga siap digunakan pada waktunya.
2)
Tama Benu[17],
yakni acara mengumpulkan keluarga besar yang berstatus sebagai me pu[18]
dan ina
wine[19].
Acara ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu:
a.
Wake ‘Lo’e[20],
yakni acara penjemputan arwah dari kubur dan diantar ke kamar utama tempat
berlangsungnya upacara. Kain sarung yang dibungkus dengan sebutir batu yang
diambil di kubur pada hari sebelumnya, dibawa keluar dari rumah menuju ke kubur.
Di sana akan disembelih seekor anak babi yang darahnya dipercikan dikubur dan
dagingnya langsung dibuang. Daging babi tersebut dapat dipilih dan dimasak oleh
orang luar untuk dimakan sampai habis. Butiran batu diletakkan kembali di kubur
dan kain sarung diserahkan kepada pihak dari me pu yang ditentukan.
b.
Plero urun[21],
yakni upacara mengantar arwah dari kubur menuju ke rumah/kamar utama. Hal ini
sebagai simbol memberi penerangan bagi arwah yang diyakini masih berada di
tempat yang gelap. Upacara ini dilakukan oleh ata pu dan ata
me yang telah ditentukan. Ata pu membawa obor yang terbuat
dari daun kelapa kering. Obor dibakar dari rumah/kamar utama dan dibawa keluar
oleh ata
pu dan diikuti oleh ata me yang membawa telur dan
sesajen berupa beras dan ekor ikan. Setelah tiba di kubur, pembawa obor 3 kali
mengelilingi makam lalu pulang kembali ke rumah. Di depan rumah dekat pintu
sebelah kanan diletakkanlah sesajen dan telur di atas sebuah batu pipih.
Setelah itu, obor dipadamkan dengan disentuhkan pada tempat sesajen berada
hingga telur pecah.
c.
Papa blatan[22],
yakni upacara memberikan kesegaran dan kenyamanan bagi arwah yang dipestakan.
Upacara ini dilakukan oleh ama papa kabor yang didahului dengan
mengupas kulit kelapa, meletakkan sesajen di atas batok kelapa, lalu membelah
kelapa tersebut. Kelapa harus dibelah dengan satu kali ayunan tangan. Ama
papa kabor pun akan menjelaskan arti dari simbol yang ditemukan pada
kelapa. Biasanya penjelasannya berkisar antara sah tidaknya upacara itu
dilakukan, kekurangan/kelebihan persediaan beras dan hewan kurban, keutuhan
keluarga, dan sebagainya. Selanjutnya kelapa dikukur, diambil santannya, lalu
diusapkan pada rambut orang yang duduk mewakili arwah tersebut.
d.
Robak wawi ohu ‘lo’en[23],
yakni upacara menyembelih babi sebagai simbol pesta peringatan arwah itu
dimulai. Hati dan dagingnya akan diambil dan dimasak di dapur utama untuk
disajikan kepada arwah. Selanjutnya, babi-babi lainnya akan disembelih sesuai
dengan jumlah me pu dan ina wine yang hadir. Hal ini
dikarenakan setelah makan, mereka akan mendapat bagian daging mentah dan beras
mentah untuk dibawa pulang.
3)
Bajo mara[24],
merupakan upacara berjaga dan berdoa bagi arwah yang dipestakan, dengan tahapan
sebagai berikut:
a.
Nara Krus[25],
upacara ini sebagai tanda berjaga semalam suntuk setelah upacara inti (tama
benu) dilakukan. Salib akan didandani dengan pakaian yang baru dan
bagus sesuai dengan kebiasaan berpakaian pesta dari orang yang meninggal.
Setelah salib didoakan dan diberkati oleh imam, salib diletakkan di dalam kamar
utama. Biasanya orang tua-tua akan melantunkan syair atau kleteng latar yang berisi
riwayat hidup orang yang telah meninggal, termasuk keutamaan-keutamaannya yang
patut diteladani.
b.
Lodo[26],
merupakan upacara yang dilakukan pada saat subuh atau mejelang siang. Dari
kamar utama, akan diturunkan bahan-bahan yang tidak diperlukan lagi melalui
celah-celah pelupu yang dijadikan sebagai lantai kamar. Upacara ini sebagai
simbol pengusiran hal-hal buruk atau najis dari arwah orang yang meninggal
sebelum orang yang meninggal itu dipermuliakan oleh kemenangan salib.
c.
Pa’at krus[27],
yakni upacara penanaman salib di kubur. Keluarga mengarak salib ke kubur sambil
mendaraskan doa. Sesampainya di kubur, salib ditanam di tempat yang disediakan.
Pakaian yang dikenakan pada salib akan diambil oleh seorang me pu
yang telah ditentukan.
d.
Duru orok rati papan, upacara
ini merupakan ritus terakhir dari upacara lodo hu’er. Upacara ini digelar di kebun kepala suku sebagai simbol
pembersihan dari segala kekhilafan dan kesalahan selama hidup di dunia dan
selama upacara lodo hu’er berlangsung. Seekor babi akan disembelih dan dimasak
untuk dimakan oleh semua keluarga yang hadir. Daging yang sisa tidak boleh
dibawa pulang ke rumah.
*****
Pendidikan
nilai yang dapat diperoleh dari upacara ini meliputi 2 hal besar yakni religius
dan sosial. Aspek religius berkaitan dengan relasi manusia dengan Tuhan
mahaPencipta. Sikap hidup yang mencerminkan nilai religius antara lain selalu
bersyukur atas karunia yang diterima selama hidup. Salib sebagai simbol
kemenangan atas maut dan dosa yang ditanam di atas pusara menandakan bahwa kita
manusia sebagai makluk yang lemah dan rapuh yang senantiasa mengandalkan Tuhan
dalam setiap gerak langkah laku hidup kita.
Aspek sosial
berkaitan dengan relasi antarmanusia yang ditandai dengan kehadiran begitu
banyak orang; keluarga besar dan handai taulan dalam upacara tersebut.
Kehadiran semua anggota keluarga menunjukkan integritas atau kesatuan di antara
anggota suku. Perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleran, gotong
royong), santun, percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan
sosial dan alam dalam rangkaian upacara lodo
hu’er menjadi tanda bahwa manusia
tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain.
*****
[1]
Orang yang berperan untuk meletakkan sesajen di atas menhir di kamar utama
selama rangkaian upacara lodo hu’er. Biasanya
diambil dari kepala suku.
[2]
Kepala suku yang bertugas membelah kelapa dan mebaca arti dari tanda-tanda yang
ditemukan pada kelapa tersebut.
[3]
Tanta besar di dalam suku
[4]
Saudari tertua di dalam suku
[5]
Orang yang ditentukan dari status anak di dalam suku yang bertugas membawa
telur pada saat upacara
[6]
Orang yang ditentukan dari status ponakan di dalam suku yang bertugas membawa
obor (urun) pada saat upacara
[7]
Kain sarung yang dipakai untuk membungkus batu sebagai simbol arwah orang yang
meninggal.
[8] Upacara
menjemput arwah hadir di kamar utama untuk diayu-bahagiakan.
[9]
Upacara memberi penerangan kepada arwah karena diyakini mereka masih berada di
tempat yang gelap.
[10]
Upacara memberi kesejukan dan kenyamanan bagi arwah setelah sekian lama berada
di tempat yang panas.
[11]
Upacara penyembelian babi untuk menjamu arwah yang telah dihadirkan di kamar
utama.
[12]
Arti harafiahnya adalah kesatuan dan kekuatan. Maknanya keluarga bersatu padu
untuk menyelenggarakan acara.
[13]
Arti harafiahnya adalah menaikkan beras. Maknanya kebutuhan akomodasi untuk
pesta siap digunakan.
[14]
Tanta tertua
[15]
Saudari tertua
[16]
Mendirikan lesung
[17] Keluarga
berdatangan dan berkumpul di tempat acara
[18]
Anak dan ponakan
[19]
saudari
[20]
Upacara menjemput arwah
[21]
Upacara memberi penerangan kepada arwah karena diyakini mereka masih berada di
tempat yang gelap
[22]
Upacara memberi kesejukan dan kenyamanan bagi arwah setelah sekian lama berada
di tempat yang panas
[23]
Upacara penyembelian babi untuk menjamu arwah yang telah dihadirkan di kamar
utama
[24]
Berjaga atau tirakatan dengan melantunkan syair/kleteng latar terkait riwayat
orang yang meninggal
[25]
Berdoa bagi keselamatan arwah yang hadir dalam simbol salib
[26]
Pengusiran hal-hal buruk atau najis dari arwah orang yang meninggal
[27]
Tanam salib sebagai simbol arwah orang yang meninggal telah memperoleh
keselamatan berkat salib Kristus.